Kok judulnya gitu sih?
Ngupil itu kegiatan yang aneh. Kita mencari sesuatu dengan susah payah, seketemunya, dibuang.
Tapi di kehidupan pun kita sering "ngupil" kok.
Hah?
Iya. Apa sih yang kita cari dalam hidup ini? Kebahagiaan? Kepuasan?
Katakanlah kita mencari kebahagiaan. Memangnya apa yang disebut bahagia itu? Jika misalkan kita bahagia dengan menikmati secangkir kopi seharga 50.000 rupiah plus free wifi, setelah kopi itu habis, kebahagiaan kita juga habis dong? Lihat, ngupil kan. Susah-susah kita cari uang segitu, dijajanin kopi biar bahagia, sehabisnya kopi, udah aja kembali lagi ke kehidupan nyata. Bukankah itu membuang kebahagiaan kita?
Jika kita bahagia dengan berpacaran, setelah putus, kebayang kan patah hatinya kayak apa? Susah-susah pedekate, ngajak jalan kesana-kemari, quality time, segala macem lah, terus jadian. Bahagia? So pasti. Udah lama pacaran, ternyata gak cocok terus. Putus. Sakit. Dibuang itu kebahagiaan. Ngupil juga kan, susah-susah cari pacar, kok diputusin?
Definisi kebahagiaan pasti rancu. Secangkir kopi tadi, bisa jadi menjadi definisi kebahagiaan yang sesaat saja. Hubungan asmara antar kekasih, bisa jadi menjadi definisi kebahagiaan untuk sementara waktu. Terus kalau kita mencari kebahagiaan dan kebahagiaan itu pada akhirnya akan hilang, apa yang sebenarnya kita cari?
Menikah saja, yang dibilang "hidup bahagia selamanya" tentu akan menjadi sedih sedu sedan ketika pasangannya meninggal dunia. Jika orang religius bilang beribadah adalah kebahagiaan (sebenernya saya gak boleh mengganggu gugat yang ini), jika ia terlalu asyik dengan kehidupannya dan lupa ibadah maka ia "ngupil" juga dong?
Mungkin memang kodrat hidung manusia menyaring kotoran hingga meskipun dibersihkan jutaan kali ke salon paling mahal sekalipun, upil akan tetap muncul dan kita akan terus "menggali harta karun". Mungkin memang kodrat hidup manusia yang mencari kebahagiaan sehingga meskipun kebahagiaan yang lalu sudah "dibuang" ia akan mencari kebahagiaan lain.
Lagipula, definisi bahagia bagi setiap orang kan berbeda. Untuk seorang dosen, mungkin ia bahagia saat tesis/desertasinya menjadi referensi untuk tesis/desertasi lainnya di seluruh dunia. Untuk seorang pebisnis, menandatangani kontrak senilai milyaran rupiahlah yang mungkin mebahagiakannya. Untuk seorang guru, melihat muridnya sukses menjadi orang penting tentu kebahagiaan tiada tara. Untuk seorang anak kosan, mungkin temannya yang berbagi makanan gratis menjadi kebahagiaan di tanggal 28.
Saya sering liat hashtag "Bahagia itu Sederhana". Really? Coba kau lepas itu HP kau, taruh jauh-jauh laptop dan internet kau. Bisa tahan lima jam, hebat. Bahagia tidak sesederhana itu. Konsep bahagia yang berbeda-beda di benak setiap manusia menjadikannya rumit. Mungkin jika kita melihat anak-anak di perkampungan yang tertawa lepas saat mandi di kali, kita bisa bilang, "mereka aja bahagia tanpa HP, bahagia itu sederhana." sekarang saya tanya, apa Anda bahagia tanpa HP? gak gelisah? tenang aja? Maka bahagia tidak sederhana bagi Anda.
Kadang saya ingin kembali jadi anak kecil, di mana konsep "bahagia itu sederhana" benar-benar ada pada diri saya. Ketika saya menertawakan kehidupan, alih-alih memikirkannya. Ketika saya belum tahu beratnya hidup dan tanggung jawab yang harus diemban. Ketika saya senang hanya dengan bermain petak-umpet bersama teman sebaya. Ketika saya tertawa lepas, tanpa memikirkan tanggung jawab apapun. Bahagia ya? Nampaknya hidup kita terlau berat sampe-sampe kehidupan anak kecil saja kita idam-idamkan.
Kembali ke ngupil. Beberapa orang mencoba mencari kebahagiaan abadi. Ada yang mencarinya dengan uang. Apa mereka bahagia? Bisa jadi. Apa mereka tenang? Belum tentu. Mereka bisa saja merasa tidak tenang karena kepemilikan harta yang banyak akan dicopet oleh orang jahat. Ada yang mencarinya dengan kekuasaan. Apa mereka bahagia? Bisa jadi. Apa mereka tenang? Belum tentu. Mereka bisa saja takut ada orang yang ingin mengudeta dirinya dan melengserkannya dari jabatannya. Ada yang mencarinya dengan ibadah. Apa mereka bahagia? Bisa jadi. Apa mereka tenang? Belum tentu. Mereka bisa saja merasa tidak tenang takut-takut ibadahnya tidak diterima Tuhan dan malah menjerumuskan mereka ke api neraka. Ada yang mencarinya dengan berfoya-foya. Apa mereka bahagia? Bisa jadi. Apa mereka tenang? Belum tentu. Mereka bisa saja khawatir kehabisan uang dan sumber daya untuk kesenangan mereka. Jadi, adakah kebahagiaan abadi itu? (Karena saya menikmati banyak dogma agama, mari kita singkirkan agama dari pembahasan ini dan kita anggap agama sudah memiliki jawabannya: kebahagiaan abadi di surga. kita pikirkan di luar itu, kalau berkenan)
Jangan-jangan, kita diciptakan memang untuk ngupil. Selalu mencari, kadang membuang, lalu mencari lagi, tak pernah berhenti, dan bertanya-tanya dalam diri, "apa suatu saat hidungku akan berdarah karena terlalu banyak ngupil?"
Ngupil itu kegiatan yang aneh. Kita mencari sesuatu dengan susah payah, seketemunya, dibuang.
Tapi di kehidupan pun kita sering "ngupil" kok.
Hah?
Iya. Apa sih yang kita cari dalam hidup ini? Kebahagiaan? Kepuasan?
Katakanlah kita mencari kebahagiaan. Memangnya apa yang disebut bahagia itu? Jika misalkan kita bahagia dengan menikmati secangkir kopi seharga 50.000 rupiah plus free wifi, setelah kopi itu habis, kebahagiaan kita juga habis dong? Lihat, ngupil kan. Susah-susah kita cari uang segitu, dijajanin kopi biar bahagia, sehabisnya kopi, udah aja kembali lagi ke kehidupan nyata. Bukankah itu membuang kebahagiaan kita?
Jika kita bahagia dengan berpacaran, setelah putus, kebayang kan patah hatinya kayak apa? Susah-susah pedekate, ngajak jalan kesana-kemari, quality time, segala macem lah, terus jadian. Bahagia? So pasti. Udah lama pacaran, ternyata gak cocok terus. Putus. Sakit. Dibuang itu kebahagiaan. Ngupil juga kan, susah-susah cari pacar, kok diputusin?
Definisi kebahagiaan pasti rancu. Secangkir kopi tadi, bisa jadi menjadi definisi kebahagiaan yang sesaat saja. Hubungan asmara antar kekasih, bisa jadi menjadi definisi kebahagiaan untuk sementara waktu. Terus kalau kita mencari kebahagiaan dan kebahagiaan itu pada akhirnya akan hilang, apa yang sebenarnya kita cari?
Menikah saja, yang dibilang "hidup bahagia selamanya" tentu akan menjadi sedih sedu sedan ketika pasangannya meninggal dunia. Jika orang religius bilang beribadah adalah kebahagiaan (sebenernya saya gak boleh mengganggu gugat yang ini), jika ia terlalu asyik dengan kehidupannya dan lupa ibadah maka ia "ngupil" juga dong?
Mungkin memang kodrat hidung manusia menyaring kotoran hingga meskipun dibersihkan jutaan kali ke salon paling mahal sekalipun, upil akan tetap muncul dan kita akan terus "menggali harta karun". Mungkin memang kodrat hidup manusia yang mencari kebahagiaan sehingga meskipun kebahagiaan yang lalu sudah "dibuang" ia akan mencari kebahagiaan lain.
Lagipula, definisi bahagia bagi setiap orang kan berbeda. Untuk seorang dosen, mungkin ia bahagia saat tesis/desertasinya menjadi referensi untuk tesis/desertasi lainnya di seluruh dunia. Untuk seorang pebisnis, menandatangani kontrak senilai milyaran rupiahlah yang mungkin mebahagiakannya. Untuk seorang guru, melihat muridnya sukses menjadi orang penting tentu kebahagiaan tiada tara. Untuk seorang anak kosan, mungkin temannya yang berbagi makanan gratis menjadi kebahagiaan di tanggal 28.
Saya sering liat hashtag "Bahagia itu Sederhana". Really? Coba kau lepas itu HP kau, taruh jauh-jauh laptop dan internet kau. Bisa tahan lima jam, hebat. Bahagia tidak sesederhana itu. Konsep bahagia yang berbeda-beda di benak setiap manusia menjadikannya rumit. Mungkin jika kita melihat anak-anak di perkampungan yang tertawa lepas saat mandi di kali, kita bisa bilang, "mereka aja bahagia tanpa HP, bahagia itu sederhana." sekarang saya tanya, apa Anda bahagia tanpa HP? gak gelisah? tenang aja? Maka bahagia tidak sederhana bagi Anda.
Kadang saya ingin kembali jadi anak kecil, di mana konsep "bahagia itu sederhana" benar-benar ada pada diri saya. Ketika saya menertawakan kehidupan, alih-alih memikirkannya. Ketika saya belum tahu beratnya hidup dan tanggung jawab yang harus diemban. Ketika saya senang hanya dengan bermain petak-umpet bersama teman sebaya. Ketika saya tertawa lepas, tanpa memikirkan tanggung jawab apapun. Bahagia ya? Nampaknya hidup kita terlau berat sampe-sampe kehidupan anak kecil saja kita idam-idamkan.
Kembali ke ngupil. Beberapa orang mencoba mencari kebahagiaan abadi. Ada yang mencarinya dengan uang. Apa mereka bahagia? Bisa jadi. Apa mereka tenang? Belum tentu. Mereka bisa saja merasa tidak tenang karena kepemilikan harta yang banyak akan dicopet oleh orang jahat. Ada yang mencarinya dengan kekuasaan. Apa mereka bahagia? Bisa jadi. Apa mereka tenang? Belum tentu. Mereka bisa saja takut ada orang yang ingin mengudeta dirinya dan melengserkannya dari jabatannya. Ada yang mencarinya dengan ibadah. Apa mereka bahagia? Bisa jadi. Apa mereka tenang? Belum tentu. Mereka bisa saja merasa tidak tenang takut-takut ibadahnya tidak diterima Tuhan dan malah menjerumuskan mereka ke api neraka. Ada yang mencarinya dengan berfoya-foya. Apa mereka bahagia? Bisa jadi. Apa mereka tenang? Belum tentu. Mereka bisa saja khawatir kehabisan uang dan sumber daya untuk kesenangan mereka. Jadi, adakah kebahagiaan abadi itu? (Karena saya menikmati banyak dogma agama, mari kita singkirkan agama dari pembahasan ini dan kita anggap agama sudah memiliki jawabannya: kebahagiaan abadi di surga. kita pikirkan di luar itu, kalau berkenan)
Jangan-jangan, kita diciptakan memang untuk ngupil. Selalu mencari, kadang membuang, lalu mencari lagi, tak pernah berhenti, dan bertanya-tanya dalam diri, "apa suatu saat hidungku akan berdarah karena terlalu banyak ngupil?"
No comments:
Post a Comment