Yap, jawaban Anda betul: PRANGKO!
hehehe, sekarang saya mau cerita soal prangko ah~
FIlateli. Seolah jadi hobi baruku....
Ceritanya dimulai pada tahun 2006, Syauqi yang masih duduk di kelas tiga SD tengah membaca artikel di majalah Bobo mengenai filateli. Waktu itu Pos Indonesia menerbitkan prangko unik yang berbentuk bulat, berupa stiker, dan tengahnya berlubang membentuk siluet pemain bola. Majalah Bobo menyebutkan bahwa harga satu set prangkonya berharga sepuluh ribu rupiah, terdiri dari empat buah prangko yang masing-masing berharga 2.500 rupiah. Dijual dalam bentuk buku, yang berisi juga informasi mengenai piala dunia. Esoknya, ia sengaja belok ke kantor pos dulu, beli prangko dengan uang yang dia simpan entah untuk apa.
Dan sekarang....koleksi pertamanya itu hilang entah ke mana, mungkin di tumpukan kardus di belakang rumahnya, menunggu dalam gelap dan lembab.
Beberapa lama kemudian, ia mulai membeli prangko-prangko. Namun kebanyakan ia pakai untuk mengirim kartu pos untuk sayembara majalah Bobo. Yang tersisa saat ini hanyalah satu prangko seri cerita rakyat yang menggambarkan cerita Timun Emas.
Perlahan ia meninggalkannya. Karena menghabiskan uangnya dan ribet. Ia lupa bahwa ada benda di dunia ini yang bernama prangko...
April 2013. Ia bertemu beberapa penutur Esperanto di kongres Esperanto Indonesia. Tuan So Gil Su dari Korea dan Tuan Bill Mak dari Hong Kong memberinya prangko bertema Esperanto. Dia teringat kembali mengenai prangko.
Satu saat dia membereskan buku di lemari kakeknya dan menemukan satu buku bersampul merah tebal. Ia kira itu adalah ensiklopedi. Namun ternyata itu album filateli. Ia melihat-lihat dan berpikir bahwa prangko itu sebenarnya unik dan asyik untuk dikoleksi. Ia telah memiliki prangko Esperanto untuk dikoleksi. Apa salahnya jika dia memulai semuanya dari awal?
Saat ini, dia rela makan biasa aja dan menurunkan kualitas-kualitas sehari-harinya, seperti pulpen. Demi prangko. Lama-lama, dia ikut OCD demi prangko x)
Bagiku, prangko itu mencerminkan identitas negara. Karena gambarnya bisa berupa budaya, cerita rakyat, pemimpin, hingga flora fauna dari negara tersebut. Prangko juga merupakan secarik kecil sejarah untuk masa depan.
Omong-omong soal sejarah, saya punya beberapa prangko dari negara yang terdengar asing. Antara lain, Tanganyika. Rupa-rupanya, itu adalah Tanzania di tahun 60an. Sejarah kan, Tanganyika sudah tidak ada, tapi prangko dari Tanganyika masih ada. Begitu pula dengan Jerman Barat, Jerman Timur, dan Uni Soviet. Mereka sudah tidak ada, tapi prangkonya masih ada.
Banyak sekali kebahagiaan yang aku dapatkan dari prangko. Meski cuma secarik kertas, prangko berarti banyak. Prangko mencerminkan usaha sang pengirim membuat senang si penerima. Prangko mengisyaratkan bahwa sang pengirim ingin membuat gambaran yang positif bagi negerinya. Melalui prangko sang pengirim bisa bercerita sedikit mengenai negerinya. Prangko melambangkan negara. Prangko adalah salah satu identitas bangsa.
Maka saya memutuskan menjadi filatelis. Bukan sekedar hobi, tapi juga investasi. Selain investasi ilmu yang kita dapat dari cerita di balik prangko tersebut, juga harga prangko bisa meroket setelah sekian lama.
Hidup filateli!
hehehe, sekarang saya mau cerita soal prangko ah~
FIlateli. Seolah jadi hobi baruku....
Ceritanya dimulai pada tahun 2006, Syauqi yang masih duduk di kelas tiga SD tengah membaca artikel di majalah Bobo mengenai filateli. Waktu itu Pos Indonesia menerbitkan prangko unik yang berbentuk bulat, berupa stiker, dan tengahnya berlubang membentuk siluet pemain bola. Majalah Bobo menyebutkan bahwa harga satu set prangkonya berharga sepuluh ribu rupiah, terdiri dari empat buah prangko yang masing-masing berharga 2.500 rupiah. Dijual dalam bentuk buku, yang berisi juga informasi mengenai piala dunia. Esoknya, ia sengaja belok ke kantor pos dulu, beli prangko dengan uang yang dia simpan entah untuk apa.
Dan sekarang....koleksi pertamanya itu hilang entah ke mana, mungkin di tumpukan kardus di belakang rumahnya, menunggu dalam gelap dan lembab.
Beberapa lama kemudian, ia mulai membeli prangko-prangko. Namun kebanyakan ia pakai untuk mengirim kartu pos untuk sayembara majalah Bobo. Yang tersisa saat ini hanyalah satu prangko seri cerita rakyat yang menggambarkan cerita Timun Emas.
Perlahan ia meninggalkannya. Karena menghabiskan uangnya dan ribet. Ia lupa bahwa ada benda di dunia ini yang bernama prangko...
April 2013. Ia bertemu beberapa penutur Esperanto di kongres Esperanto Indonesia. Tuan So Gil Su dari Korea dan Tuan Bill Mak dari Hong Kong memberinya prangko bertema Esperanto. Dia teringat kembali mengenai prangko.
Satu saat dia membereskan buku di lemari kakeknya dan menemukan satu buku bersampul merah tebal. Ia kira itu adalah ensiklopedi. Namun ternyata itu album filateli. Ia melihat-lihat dan berpikir bahwa prangko itu sebenarnya unik dan asyik untuk dikoleksi. Ia telah memiliki prangko Esperanto untuk dikoleksi. Apa salahnya jika dia memulai semuanya dari awal?
Saat ini, dia rela makan biasa aja dan menurunkan kualitas-kualitas sehari-harinya, seperti pulpen. Demi prangko. Lama-lama, dia ikut OCD demi prangko x)
Bagiku, prangko itu mencerminkan identitas negara. Karena gambarnya bisa berupa budaya, cerita rakyat, pemimpin, hingga flora fauna dari negara tersebut. Prangko juga merupakan secarik kecil sejarah untuk masa depan.
Omong-omong soal sejarah, saya punya beberapa prangko dari negara yang terdengar asing. Antara lain, Tanganyika. Rupa-rupanya, itu adalah Tanzania di tahun 60an. Sejarah kan, Tanganyika sudah tidak ada, tapi prangko dari Tanganyika masih ada. Begitu pula dengan Jerman Barat, Jerman Timur, dan Uni Soviet. Mereka sudah tidak ada, tapi prangkonya masih ada.
Banyak sekali kebahagiaan yang aku dapatkan dari prangko. Meski cuma secarik kertas, prangko berarti banyak. Prangko mencerminkan usaha sang pengirim membuat senang si penerima. Prangko mengisyaratkan bahwa sang pengirim ingin membuat gambaran yang positif bagi negerinya. Melalui prangko sang pengirim bisa bercerita sedikit mengenai negerinya. Prangko melambangkan negara. Prangko adalah salah satu identitas bangsa.
Maka saya memutuskan menjadi filatelis. Bukan sekedar hobi, tapi juga investasi. Selain investasi ilmu yang kita dapat dari cerita di balik prangko tersebut, juga harga prangko bisa meroket setelah sekian lama.
Hidup filateli!
No comments:
Post a Comment