Entah ada angin apa yang berhembus melalui telinga saya, saya buka blog saya dan membersihkan sarang laba-laba yang sudah mulai banyak di pojokannya....
Sekarang saya mau cerita mengenai Sophia University. Ini merupakan salah satu universitas swasta yang paling terkenal dan paling bagus di Jepang. Universitas Katolik, tepatnya. Kebetulan sekali, ada seorang dosen sosiolinguistik yang baik hati, Prof. Kimura, yang dengan senang hati mengundang saya untuk menghadiri dua kelasnya.
Sebelumnya, teman saya yang bernama Kyo bilang begini pada saya, "Apa?! Kamu mau ke Sophia University? Mana boleh, itu tuh tempatnya elit, banyak cewek cantiknya lagi!" (harap maklum, ini lagam bercandanya dia). Aku cuma memusatkan perhatianku pada frase "banyak cewek cantik" saja :| akhirnya saya putuskan bahwa pada hari Kamis, 17 Oktober 2013 saya akan tampil menawan dengan batik dan wangi. Bukan untuk memikat cewek cantik, tapi untuk memberi gambaran yang sopan dan positif untuk Indonesia.
Pukul sembilan pagi. Saya sudah di Sophia University. Celingukan di tengah kerumunan mahasiswa yang maraton hendak masuk kelas. Prof. Kimura bilang saya harus ke bangunan nomor dua, lantai enam. Tapi entah kenapa saya cuma nemu sampai lantai tiga. Akhirnya saya telepon beliau (yang biaya pulsanya fantastis) dan bilang untuk menemuinya saja di ruangan kuliah.
Gak lama untuk menemukan ruang kuliah tersebut. Kelasnya rapi dan personelnya sedikit. Berbanding terbalik dengan kelas Communicative English Grammar yang mencapai 70 orang. Jumlah siswa di kelas Prof. Kimura hanya sekitar 12 orang, semacam kelas anak mentri. Prof. Kimura mengajar bahasa Jerman. Untungnya saya bisa bahasa Jerman secara pasif (ngerti doang, kagak ngomong). Jadi, kurang lebih saya bisa menangkap apa yang dikatakan oleh sang dosen dan mahasiswanya.
Soal cewek cantik, Kyo benar. Memang mahasiswi-mahasiswi Sophia University cantik-cantik. Sudahlah, yang ini gak perlu diperpanjang. Saya menyesal gak minta kontak mereka, sebatas facebok atau surel *plak
Kembali ke kegiatan belajar mengajar. Kegiatannya menyenangkan sekali. Seperti tidak ada batas di antara dosen dan mahasiswa, dan semuanya berkomunikasi dengan setara. Meski bagi orang Indonesia yang senengnya banyol kayak saya kelas mereka itu agak serius, tapi menyenangkan.
Oiya. Saya disuruh memperkenalkan diri. Ya iya lah, masa membiarkan mahasiswi cantik itu tidak mengetahui nama saya?! Maksudnya, masa membiarkan mereka bingung mengapa ada makhluk asing yang datang ke kelas mereka?! Saya disuruh memperkenalkan diri dengan bahasa ibu. Bahasa Indonesia? Terlalu mudah ditebak. Saya memperkenalkan diri menggunakan bahasa Sunda ragam lemes. Ehehe, pada akhirnya sih ya ketebak juga...
Ada satu mahasiswi yang bertanya pada saya, "Kamu bisa bahasa apa aja?" Aku jawab, "Gak banyak, cuma empat. Indonesia, Sunda, Inggris, dan Esperanto. Sementara saya berada di level beginner untuk bahasa Jerman, Prancis, dan Jepang." Kata Prof. Kimura, "Hebat amat kan, coba tebak umurnya berapa!" pada jawab umurku 18 atau 19 tahun. Oh my God, apa aku setua itu?! Aku bilang bahwa aku masih 17 tahun. Terkesiap mereka. Ehehe, pencitraan banget yak :/
Kelas kedua. Kelas sosiologi. Pengantarnya bahasa Jerman. Membahas mengenai penggunaan pembangkit listrik tenaga nuklir. Karena bencana Fukushima itu loh. Nah aku bilang, bahwa Indonesia pun punya rencana mau bikin PLTN, tapi kontroversial karena banyak perdebatannya. Mereka tanya, "Kalau kamu, setuju atau nggak?" Aku jawab gak setuju. Tadinya mau bilang karena aku takut kita akan ceroboh dan bikin bencana, tapi ya aku bilang aja, "Pasokan listrik kami masih cukup kok, aku yakin." (Dan sialnya, PLN membantah omonganku dengan pemadaman-pemadaman listrik yang bikin nenekku dan tante-tanteku sempoyongan semuanya)
Kelas ini penghuninya cuma lima. Ditambah aku dan dosennya, jadi mahasiswanya cuma tiga. Rupanya mereka mahasiswa tingkat akhir, yang mau bikin skripsi, dan skripsi mereka ada kaitannya dengan dampak sosial dari peristiwa Fukushima itu. Ckckck
Mimpiku cuma satu. Ingin mengunjungi Sophia University, atau universitas lain di Jepang seperti Tokyo University atau Kyoto University, bukan untuk jadi mahasiswa ilegal. Tapi untuk jadi mahasiswa beneran yang dapet beasiswa ke Jepang. Aamiin!
"Gantungkanlah mimpimu setinggi-tingginya, agar Tuhan memeluk mimpimu, dan kelak ia akan memberikan mimpi-mimpimu yang telah kaugantungkan itu."
Sekarang saya mau cerita mengenai Sophia University. Ini merupakan salah satu universitas swasta yang paling terkenal dan paling bagus di Jepang. Universitas Katolik, tepatnya. Kebetulan sekali, ada seorang dosen sosiolinguistik yang baik hati, Prof. Kimura, yang dengan senang hati mengundang saya untuk menghadiri dua kelasnya.
Sebelumnya, teman saya yang bernama Kyo bilang begini pada saya, "Apa?! Kamu mau ke Sophia University? Mana boleh, itu tuh tempatnya elit, banyak cewek cantiknya lagi!" (harap maklum, ini lagam bercandanya dia). Aku cuma memusatkan perhatianku pada frase "banyak cewek cantik" saja :| akhirnya saya putuskan bahwa pada hari Kamis, 17 Oktober 2013 saya akan tampil menawan dengan batik dan wangi. Bukan untuk memikat cewek cantik, tapi untuk memberi gambaran yang sopan dan positif untuk Indonesia.
Pukul sembilan pagi. Saya sudah di Sophia University. Celingukan di tengah kerumunan mahasiswa yang maraton hendak masuk kelas. Prof. Kimura bilang saya harus ke bangunan nomor dua, lantai enam. Tapi entah kenapa saya cuma nemu sampai lantai tiga. Akhirnya saya telepon beliau (yang biaya pulsanya fantastis) dan bilang untuk menemuinya saja di ruangan kuliah.
Gak lama untuk menemukan ruang kuliah tersebut. Kelasnya rapi dan personelnya sedikit. Berbanding terbalik dengan kelas Communicative English Grammar yang mencapai 70 orang. Jumlah siswa di kelas Prof. Kimura hanya sekitar 12 orang, semacam kelas anak mentri. Prof. Kimura mengajar bahasa Jerman. Untungnya saya bisa bahasa Jerman secara pasif (ngerti doang, kagak ngomong). Jadi, kurang lebih saya bisa menangkap apa yang dikatakan oleh sang dosen dan mahasiswanya.
Soal cewek cantik, Kyo benar. Memang mahasiswi-mahasiswi Sophia University cantik-cantik. Sudahlah, yang ini gak perlu diperpanjang. Saya menyesal gak minta kontak mereka, sebatas facebok atau surel *plak
Kembali ke kegiatan belajar mengajar. Kegiatannya menyenangkan sekali. Seperti tidak ada batas di antara dosen dan mahasiswa, dan semuanya berkomunikasi dengan setara. Meski bagi orang Indonesia yang senengnya banyol kayak saya kelas mereka itu agak serius, tapi menyenangkan.
Oiya. Saya disuruh memperkenalkan diri. Ya iya lah, masa membiarkan mahasiswi cantik itu tidak mengetahui nama saya?! Maksudnya, masa membiarkan mereka bingung mengapa ada makhluk asing yang datang ke kelas mereka?! Saya disuruh memperkenalkan diri dengan bahasa ibu. Bahasa Indonesia? Terlalu mudah ditebak. Saya memperkenalkan diri menggunakan bahasa Sunda ragam lemes. Ehehe, pada akhirnya sih ya ketebak juga...
Ada satu mahasiswi yang bertanya pada saya, "Kamu bisa bahasa apa aja?" Aku jawab, "Gak banyak, cuma empat. Indonesia, Sunda, Inggris, dan Esperanto. Sementara saya berada di level beginner untuk bahasa Jerman, Prancis, dan Jepang." Kata Prof. Kimura, "Hebat amat kan, coba tebak umurnya berapa!" pada jawab umurku 18 atau 19 tahun. Oh my God, apa aku setua itu?! Aku bilang bahwa aku masih 17 tahun. Terkesiap mereka. Ehehe, pencitraan banget yak :/
Kelas kedua. Kelas sosiologi. Pengantarnya bahasa Jerman. Membahas mengenai penggunaan pembangkit listrik tenaga nuklir. Karena bencana Fukushima itu loh. Nah aku bilang, bahwa Indonesia pun punya rencana mau bikin PLTN, tapi kontroversial karena banyak perdebatannya. Mereka tanya, "Kalau kamu, setuju atau nggak?" Aku jawab gak setuju. Tadinya mau bilang karena aku takut kita akan ceroboh dan bikin bencana, tapi ya aku bilang aja, "Pasokan listrik kami masih cukup kok, aku yakin." (Dan sialnya, PLN membantah omonganku dengan pemadaman-pemadaman listrik yang bikin nenekku dan tante-tanteku sempoyongan semuanya)
Kelas ini penghuninya cuma lima. Ditambah aku dan dosennya, jadi mahasiswanya cuma tiga. Rupanya mereka mahasiswa tingkat akhir, yang mau bikin skripsi, dan skripsi mereka ada kaitannya dengan dampak sosial dari peristiwa Fukushima itu. Ckckck
Mimpiku cuma satu. Ingin mengunjungi Sophia University, atau universitas lain di Jepang seperti Tokyo University atau Kyoto University, bukan untuk jadi mahasiswa ilegal. Tapi untuk jadi mahasiswa beneran yang dapet beasiswa ke Jepang. Aamiin!
"Gantungkanlah mimpimu setinggi-tingginya, agar Tuhan memeluk mimpimu, dan kelak ia akan memberikan mimpi-mimpimu yang telah kaugantungkan itu."
No comments:
Post a Comment