Wednesday, November 13, 2013

Mempertanyakan Eksistensi

Apakah yang dimaksud dengan "ada"?

Bahasan kali ini akan sedikit berat nih...

"Jika sebatang pohon jatuh di tengah hutan, dan di sekitarnya tidak ada siapapun untuk mendengar suara jatuhnya, apa pohon itu masih bersuara ketika jatuh?"
Bisa menjawab pertanyaan di atas?

Oke, kenapa sih bahas yang beginian? Well, saya sering berpikir seperti ini, jangan-jangan di dunia ini saya hanya hidup seorang diri, sementara orang lain, kejadian yang ada, dan semuanya hanyalah bayangan yang saya ciptakan karena saya kesepian. Apa Anda pernah berpikiran sama? Mempertanyakan keberadaan itu rumit. Ya, anggap saja senam otak.

Karena saat ini saya mengetik di kamar kosan, apa sebenarnya dunia luar itu tidak ada? Ketika saya berada di Yogyakarta, apa sebenarnya sebuah negara bernama Amerika itu tidak pernah ada? Jika saya sedang di Amerika, apa Yogyakarta tetap ada?
Manusia hanya bisa melihat dan merasakan segala sesuatu melalui sudut pandangnya. Ia tidak akan bisa tahu, apa orang yang sedang ia ajak bicara nyata atau tidak. Ia tidak akan pernah tahu, apa hal yang dilihat, didengar, diendus, dan disentuhnya sama dengan yang orang lain rasakan atau tidak. Jadi, apa orang lain itu benar-benar ada, atau hanya imajinasi kita saja?

Kita terbiasa mendeskripsikan sesuatu yang ada itu sebagai sesuatu yang dapat dilihat, didengar, diendus, disentuh, dan dirasakan. Sementara itu, apa laptop yang sedang saya pijit-pijit papan tombolnya ini benar-benar ada karena saya bisa melihat dan menyentuhnya, atau saya bersugesti menyentuh dan melihat sesuatu sehingga saya mengatakan bahwa laptop ini ada?

Bagaimana dengan warna? Dalam ilmu fisika, warna dihasilkan dari panjang gelombang yang berbeda saat cahaya memantul pada benda tertentu, dan ditangkap oleh tiga jenis reseptor warna di mata kita, yang masing-masing sensitif pada panjang gelombang tertentu. Lalu, jika benar warna dihasilkan oleh panjang gelombang, maka dalam wujud aslinya, warna itu seperti apa?
Jika disebutkan "imajinasi manusia itu terbatas karena tidak dapat membayangkan warna baru.", apa dia tidak tahu bahwa kupu-kupu memiliki empat jenis reseptor warna di matanya, yang memungkinkannya menangkap warna hingga seratus kali lebih banyak daripada manusia? Bagaimana dengan udang mantis yang memiliki enam belas jenis reseptor warna di matanya? Berapa milyar, trilyun, atau biliun warna yang bisa ia bedakan? Apa ini berarti bahwa warna hanya itu-itu saja? Atau karena mata manusia kurang mampu menangkap warna lain? Atau karena kita hidup sendiri dan mengada-ngada tentang warna?

Tahukah Anda, peniruan suara binatang/onomatopoeia di setiap bahasa berbeda-beda, padahal binatang tersebut bersuara sama? Apa ini disebabkan telinga setiap bangsa berbeda-beda? Atau jangan-jangan hewan itu tidak ada, dan setiap bahasa menciptakan penyuaraan binatang agar dianggap ada?

Apa sih inti dari postingan ini? Mempertanyakan eksistensi. Makanya isinya pertanyaan semua.
Selamat merenung! Apa dirimu ada? Apa dunia ini ada? Jika dirimu seorang diri, mengapa dirimu ada? Untuk apa?

Monday, November 11, 2013

Mengapa Orang Barat Egois secara Bahasa?

Haloo!

Sekarang mau bahas sesuatu, kenapa sih orang barat egois secara bahasa?

Bagi yang belum tahu, di Eropa khususnya, orang-orang pada egois sama bahasa sendiri. Pokoknya, kalau dirimu ke Prancis berbekal bahasa Inggris, siap-siap lost in translation aja deh. Kalau mau ke Eropa, belajar dulu bahasanya meskipun sedikit.

Mungkin kita berpikir, mereka itu egois banget ya, gak mau belajar bahasa Inggris, gak mau pake bahasa Inggris. Apa orang Eropa bodoh dan pemalas? Mungkin itu bagi orang Indoonesia, alasan sebenarnya, sangat kultural.

Jadi begini, kenapa di negara barat harus pake bahasanya sendiri? Anggaplah dirimu sedang berada di PRANCIS. di PRANCIS, ya. Kamu ingin mengunjungi menara Eiffel, Arc du Triumphe, Musee du Louvre, dsb. Kamu kemudian nanya jalan pake bahasa INGGRIS, "Excuse me, would you like to show me the way to the Eiffel tower, please?" Nah, yang bicara pake bahasa PRANCIS ngomongnya, "Pardon, je ne comprends pas. Parlez-vous le francais?" Nah karena kamu gak ngerti, akhirnya kamu cuma nunduk-nunduk bilang "Thank you" sambil mlipir pergi.
Sebenarnya apakah LOGIS, jika orang PRANCIS, menginginkan bahwa ia berbicara bahasa PRANCIS, di negerinya sendiri PRANCIS? Apa mereka salah? Nggak kan?
Sebaliknya, apa Anda merasa bahwa Anda berada di PRANCIS, ketika tidak ada seorangpun yang mengajak Anda berbicara bahasa PRANCIS? Apa Anda akan berpikir, "Jadi sebenernya gue ini di Prancis apa di Inggris?" karena Anda berbicara bahasa INGGRIS?
Itulah sudut pandang orang barat. Bagi mereka, bahasa menunjukkan bangsa, dan di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. kalau kamu di Prancis, ya cocoknya ngobrol pake bahasa Prancis, meskipun seadanya. Kalau kamu di Jerman, ya secara logis kamu harusnya berbicara bahasa Jerman, bukan bahasa Inggris, meskipun bahasa Jermanmu belepotan!
Orang-orang Jepang pun begitu, waktu di sana saya sedikit sekali bicara bahasa Inggris. Meskipun bahasa Jepang saya cuma segitu-segitunya, ya saya paksain ngomong Jepang, karena saya di Jepang, bukan di Inggris. Teman-teman saya yang orang Jepang pun, ada beberapa yang bisa dan belajar bahasa Indonesia karena mereka pernah mengunjungi Indonesia dan/atau mau mengunjungi Indonesia.

Selain itu, menurut mereka, jika kita di suatu negara yang tidak berbahasa Inggris dan malah disapa atau diajak ngobrol menggunakan bahasa Inggris, itu artinya kita tidak diterima di negara itu. Jika Anda berada di Denmark, dan diajak berbicara bahasa Inggris, artinya orang Denmark NGGAK MAU ada dirimu di situ. Jadi, belajar bahasa Denmark dulu kalau mau ke Denmark.

Ini masalah buat orang Indonesia. Kita suka sok-sokan nyapa bule pake bahasa Inggris. Padahal menurut mereka, itu berarti bahwa: 1) Mereka tidak diterima di masyarakat Indonesia, 2) Orang Indonesia tidak bangga akan bahasanya. Padahal menurut orang Indonesia, hal itu: 1) Ramah, karena menyapa dengan "bahasa ibu" si bule, 2) melatih kemampuan bahasa Inggris. Padahal mah, gak semua bule bisa dan ngomong bahasa Inggris kali. Apa karena mukamu mirip orang Thailand kamu mau disapa "Sawatdee khrab!" oleh orang bule? Nah jadi, bagi mereka, menyapa dengan bahasa Inggris itu DISKRIMINASI RASIAL.

Jadi pokoknya, saran saya, mulai dari sekarang, jangan deh sok-sokan nyapa bule dengan bahasa Inggris. Takut aja, bule itu memegang paham tersebut, salah-salah kamu digampar bule :p
Sapalah dengan bahasa Indonesia yang jelas dan perlahan. Agar dia mengerti. Keramahan kita masih terasa, dan mereka merasa "welcome" di negeri kita, selain itu, kita bangga akan bahasa sendiri dan turut melestarikan bahasa Indonesia. Oke?

Mau ke Finlandia? Belajar bahasa Finlandia sana. Oiya, omong-omong soal bahasa Finlandia, cek ke sini gih :p http://linustechtips.com/main/topic/72936-english-swedish-german-and-finnish-decline-dog/

Sunday, November 10, 2013

Hobi Baru - Kirim-mengirim Kartu Pos!

Halooo~


Layanan pos? Ah, itu mah lama, kuno, usang, masih ada pula! Udah ada e-mail kenapa masih pake kartu pos sih?

Ehehe, beberapa bulan lalu aku secara tidak sengaja menemukan koleksi prangko milik kakekku. Dasar ya, aku suka banget sama kehidupan di luar sana, aku tertarik. Habisnya, banyak banget nama negara di sana, mulai dari yang deket-deket kayak Malaysia, Brunei Darusalam, dan Jepang, lalu negara besar seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Rusia, hingga negara terkenal yang cukup "asing" seperti Israel.
Nah, ngiler lah seorang Syauqi Ahmad. Dia pengen koleksi prangko juga. Tanpa sengaja, aku menemukan situs postcrossing, yakni sebuah situs dimana kita bisa mendapatkan alamat orang-orang yang bersedia menerima dan mengirim kartu pos. Sistemnya, kirim satu terima satu. Dan pada setiap kartu pos harus dicantumkan nomor unik yang bisa didaftarkan ketika sampai ke rumah si pengirim, lalu kita akan mendapatkan kartu pos dari pengguna random.
Yang asyik lagi, kita gak akan pernah tahu, ke mana kita akan mengirim dan dari siapa kartu pos yang kita terima. Jadi, kita gak akan pernah tahu akan dapat kartu pos dari mana dan kapan, biar semacam surprise gitu loh.
Lama? Ya iyalah! Minimal dua minggu, baru lah nyampe. Tapi, di sinilah serunya. Kita akan melupakan kalau kita pernah mengirim sebuah kartu pos, dan tiba-tiba, pada suat hari, out of nowhere, datanglah sebuah kartu pos dari negara random yang ditujukan untuk kita. Sepengalaman saya, menerima kartu pos benar-benar bikin senang! Semacam moodbuster gitu, yang bete langsung jadi ceria deh!
Mahal? Buat saya sebagai anak kosan pas-pasan, lumayan. Satu kartu pos harganya sekitar 3.000, dan harga prangko rata-rata 7.500. Jadi, kurang lebih membutuhkan Rp10.000 untuk mengirim kartu pos.
Tapi ya, sepuluh ribu rupiah, usaha sedikit ke kantor pos, dan menunggu selama beberapa minggu, akan terbayarkan ketika kamu menerima sebuah kartu pos. Misalkan, dari negarayang paling kamu suka.
Oiya, alamat kamu hanyalah hak untuk mereka yang akan mengirim kepadamu. Jadi, random viewer gak mungkin bisa lihat alamatmu, insya Allah aman deh!

Selain postcrossing, saya juga pake "koresponda servo". Yakni serupa dengan postcrossing, bedanya, dia lebih simpel, sistemnya lebih sederhana, dan hanya untuk pengguna/pelajar bahasa Esperanto. Gak ada kode unik, boleh ngirim dan balas kapan pun, biasanya ngasih tahu dengan email dulu, dll. Cuma, kebaikan hati para Esperantis menjamin bahwa ini juga aman.

Mungkin ada yang belum tahu kartu pos? Silakan jalan-jalan ke kantor pos pusat Bandung di jalan Asia Afrika, di depannya ada lapak-lapak penjual kartu pos. Tanyakan, berapa harganya :p
Sayangnya, kartu pos Indonesia gak begitu beragam seperti kartu pos luar negeri. Gambarnya biasanya berisi pemandangan alam Indonesia saja. Tapi, bisa kok ngeprint sendiri juga, gambar sendiri juga boleh.
Prangko Indonesia juga gak begitu bagus kalau kita males nyari yang bagus. Biasanya sih aku beli di kantor pos di BIP, cuma sejak seminggu yang lalu kantor pos di situ tiba-tiba hilang, dan aku harus ke bursa filateli di kantor pos besar Bandung. Bagaimanapun, pengiriman kartu pos mencirikan negeri kita kan, agaknya akan lebih baik kalau kita mengirim dengan prangko yang bagus, jangan prangko hemat energi, gemarikan, atau ucapan selamat hari raya, terlalu mainstream!

Tertarik mau ikutan? Silakan cek situs postcrossing: www.postcrossing.com
Atau bisa juga gabung dengan komunitas postcrossing Indonesia/KPI di facebook https://www.facebook.com/groups/PostcrossingID/
Pengen lihat prangko Indonesia yang bagus? Cek www.e-fila.com
Di mana beli kartu pos? Ada kok di folder grup KPI Facebook...

Kalau mau ikutan, gak apa-apa kok! We welcome you!

HAPPY POSTCROSSING ^_^

Tuesday, November 5, 2013

Kongres Esperanto Jepang - Terlalu Indah untuk Dilupakan

Hosh, lama banget daku tidak ngeblog (^_^;)

Karena kemarin (bukan kemarin juga sih, tanggal 20 Oktober tepatnya) baru pulang dari Jepang, mau berbagi pengalaman. Ini sih mau cerita soal kongresnya aja =)


Pertama-tama, puji syukur kehadirat Allah yang karena rahmat-Nya melalui kebaikan hati seorang Nyonya Mitsukawa Sumiko saya bisa pergi ke Jepang.
Berangkat tanggal 10 Oktober, pukul 22.00. Sebenernya waktu itu agak takut, karena aku orangnya gampang ngalenyab (entah apa bahasa Indonesianya. Pokoknya kalo menuruni turunan di roller coaster, terasa perasaan geli dan aneh di dada, itu ngalenyab), yang bahkan naik mobil aja sering ngalenyab, saya mikir, "Halah, malu amat kalo di pesawat ngalenyab terus." Syukurlah tidak, hanya terasa sedikit waktu roda pesawat meninggalkan tanah.
Di pesawat saya hanya tidur sekitar dua atau tiga jam. Sayangnya, karena malam hari saya gak bisa lihat apa-apa di bawah. Paginya, sekitar jam 6 waktu setempat (jam 4 atau 5 waktu Jakarta) hari sudah mulai terang dan saya disuguhi pemandangan birunya langit dan birunya laut, karena duduk dekat jendela. I love it!
Jumat, 11 Oktober pukul 9 waktu Tokyo saya sampai di Narita. Alhamdulillah, semua proses keimigrasian berlangsung lancar tanpa kendala. Saya waktu itu bersama dua orang Indonesia lainnya, Iyan dan Ilia, dan bertemu orang Belanda, Hans, di Narita. Sebelumnya, narahubung kami Ibu Tahira bilang pada kami bahwa gak ada yang bisa jemput. Ternyata, ada Pak Kai Koichi yang berbaik hati menunggu dan mengantarkan kami ke hotel.

Hari itu kami gak kemana-mana, istirahat di hotel yang nyaman itu. Resepsionisnya gak bisa bahasa Inggris, jadi ya aku gunakan bahasa Jepang seadanya. Untungnya Pak Kai menolong kami. Bahkan dia traktir makan siang kami di restoran fast food sekitar.
Agak susah cari makanan yang 100% halal di Jepang. Makanan India dan vegetarian menjadi pilihan yang bagus. Atau ikan-ikanan sejenis sushi juga. Kalaupun ada kandungan alkoholnya, toh diriku tidak tahu...

Hari pertama kongres, 12 Oktober. Pukul 8 saya sarapan di restoran kecil sebelah hotel. Saya dipesankan sarapan khas Jepang. Nasi, ikan, nato, sup miso, sayuran, dan telur. Sebenarnya pembukaan kongres baru dimulai pukul dua siang, namun program pemuda sudah dimulai dari jam 9. Pertama, kita membahas sola seminar umum/komuna seminario, dibawah bimbingan Mamiya Midori. Lalu, ada Ugo Jose Lachapelle, seorang Kanada yang lama tinggal di Jepang, berbicara mengenai pengalamannya di Jepang dan dengan Esperanto. Lalu ada Leo Sakaguchi, blasteran Jerman-Jepang yang merupakan penutur Esperanto sejak lahir yang membimbing bagaimana mengorganisir acara Esperanto.
 Suasana acara pemuda sebelum pembukaan

Setelah itu, acara pembukaan. Acara formal pertama dalam kongres ini. Isinya, sama seperti di Indonesia, sambutan-sambutan. Mulai dari para orang-orang yang diundang hingga dari gubernur Tokyo. Yang lucu, Pak Camat Edogawa menyapa kami dengan bahasa Esperanto, "Karaj kongresanoj, bonan tagon!" (Para peserta kongres, selamat siang!" Awalnya kami berpikir bahwa beliau benar-benar bisa bahasa Esperanto, eh selanjutnya dia bicara bahasa Jepang =) Setelah pembukaan, ada acara foto bersama. Setelah itu kami mengunjungi menara di tempat kongres, melihat pemandangan Tokyo dari arah Edogawa. Lalu, ada acara makan bersama/banquet. Saya ikut makan bersama dengan pemuda, di sebuah restoran India, yang gak pake daging maupun alkohol. Yah, seenggaknya itu nggak haram deh. Makanannya enak, dengan empat atau lima jenis kari, beberapa jenis roti, dan teh-susu-jahe, cocok buat saya. Malamnya ada 'kursus' dansa bersama JoMo, penyanyi Esperanto yang cukup tenar di dunia Esperanto. Kami berdansa mulai dari free-style, salsa, tankoubushi, occitane, hingga...........la bamba! Gosh, aku bener-bener menikmati malam minggu bersama kawan-kawan baru, dansa sama cewek-cewek baik muda maupun tua (!), dan have fun, yang pastinya!
Sesi dansa bebas, semuanya mirip orang gila (termasuk saya) ^_^
 
Hari kedua dimulai pukul sembilan pagi, dimulai dengan presentasi oleh peserta satu-satunya dari Vietnam, Nguyen Thi Nep, yang biasa dipanggil Nepo, yang mempresentasikan Banh Chung, makanan khas Vietnam. Cuma aku gak bisa makan, karena mengandung babi. Yang kedua presentasi dari peserta dari Nepal, Navaraj Budha, mengenai negeri Nepal. Lalu Iyan Septiyana dari Indonesia, presentasi mengenai pentingnya pemuda dalam kegiatan Esperanto, dan terakhir Suno dari Korea, presentasi mengenai workcamp dan Esperanto. Siangnya ada acara "Nikmatilah budaya Jepang". Mulai dari upacara minum teh, membuat kaligrafi/origami/bermain mainan tradisional, hingga bernyanyi dan menari (lagi). Bener-bener budaya Jepang deh pokoknya! 
Pembimbing membuat kaligrafi, Ibu Yumiko Fujii, menerangkan cara membuat kaligrafi Jepang yang rumit, namun asyik
 
Malamnya ada acara konser publik. Mulai dari lagu-lagu Jepang, lagu-lagu Jepang yang di-Esperanto-kan, lagu-lagu Esperanto yang di-Jepang-kan, hingga lagu-lagu Esperanto ada. Di akhir acara, JoMo bernyanyi, dan tahu apa, kami berdansa (lagi!) bersama JoMo di panggung (yang merupakan panggung orang gila untuk saat itu ^_^)
Kami berdansa dengan JoMo di atas panggung (Foto oleh ibu Mitsukawa Sumiko)
 
Hari ketiga pun dimulai pukul sembilan waktu Tokyo. Diawali dengan presentasi pergerakan Esperanto di Vietnam oleh Nepo, presentasi mengenai konferensi Asia-Afrika oleh Iyan, kuis budaya Korea oleh Suno, dan kuis fakta Kanada oleh Joel dan Zhenya Amis. Diikuti oleh bermain bersama. Yang pertama adalah tari bambu Vietnam yang dibimbing oleh Nepo, mirip dengan tari gaba-gaba/tari saureka-reka dari Indonesia. Lalu teman-teman dari Korea membuat kaligrafi hangul di kartu pos, dan/atau melukis wajah kita. Lalu Iyan (dan secara tidak resmi saya bantu sedikit juga) mempresentasikan gatrik dan kerupuk dari Indonesia. Dan rupanya, banyak yang suka kerupuk! Sorenya, saya cukup lelah, mungkin karena tari bambu yang harus loncat-loncat dan permainan gatrik, jadi saya istirahat di hotel sebelum malam persahabatan. ya, itu acara malam hari terakhir, malam persahabatan! Ketika beberapa teman dari Jepang, Korea, Cina, dan juga Indonesia memberikan penampilannya masing-masing. Dimulai dari band, musik perkusi Korea, tari kipas Tiongkok, hingga tari Jaipongan oleh Ilia dari Indonesia! Dan akhirnya, JoMo kembali menyanyi dan kami (Anda betul) menari lagi! Pokoknya, tiap malam badan selalu gerak deh, olahraga! =)
Pokoknya tiap malam joget! (Foto oleh Belmonto)
 
Sayangnya hari terakhir harus datang. Paginya saya ikut lomba pidato. Ada beberapa peserta lain di sana. Mulai dari Hong Kong, Korea, Jepang, dan Indonesia. Bill Mak dari Hong Kong meraih juara pertama, Suno dari Korea meraih juara kedua, sementara juara ketiga jatuh kepada................saya dan Midori dari Jepang! Ya, ada dua juara ketiga. Namun, karena hal ini tidak diduga, saya menerima piagam yang asli, sementara Midori menerima "kupon" piagam untuk nanti ditukar dengan piagam asli lainnya ^_^
Pakaiannya mirip (berkacamata, kemeja kotak-kotak, celana jeans), sama-sama tertawa, sama-sama menang juara ketiga, perbedaannya: piagam! =) (Foto oleh Nguyen Thi Nep)
Pada saat penutupan, para pemenang dipanggil, tidak untuk maju ke panggung, tapi cukup untuk berdiri dan menunduk pada peserta kongres. Penutupan...acara paling sedih, mengapa semua ini harus berakhir? Namun saya teringat perkataan ibu Franciska Toubale dari Australia, "Event Esperanto harus berlangsung paling lama 10 hari, biar kita saling kangen. Kalau lebih dari 10 hari, yang ada malah bosen." Dan memang, saya merindukan kawan-kawan baru saya yang super baik hati dan ramah.
Hari itu hujan, mungkin cuaca Tokyo pun sedih karena kongres ini berakhir. Pada hari itu pula, kami jalan-jalan ke Tokyo SkyTree. Sayang sekali karena hujan dan mendung, aku gak begitu menikmati pemandangan dari 350 meter di atas permukaan tanah. Cuma pemandangan awan, dan jalan yang samar-samar cukup memuaskan kok. Juga ditraktir cheese cake dan ice latte oleh bapak Manabe Hirochika, Esperantis Jepang yang lebih lancar berbicara bahasa Indonesia daripada bahasa Esperanto, bikin aku menikmati Tokyo SkyTree.
Bersama Iyan dan pak Manabe di SkyTree cafe (Foto oleh Iyan Septiyana)
 
Selepas dari Tokyo SkyTree, aku, Iyan, pak Inumaru, pak Hamzeh dari Iran, dan ibu Tahira makan sushi bersama. I love it! Potongan ikan kecil dengan nasi plus wasabi dengan ukuran sekali suap, aku habis berapa banyak, entahlah. Untungnya, waktu  itu dibayarin. Cuma menurutku, harga sushi di Jepang lebih murah daripada di Indonesia. Di Jepang, satu piring seharga +/- 150 yen atau sekitar 18.000 rupiah berisi enam sushi roll. Di Indonesia, itu harganya bisa 30.000 rupiah. Sementara sushi yang gak pake nori/ditamplokkin di atas nasinya yang di Indonesia bisa mencapai 70.000 untuk dua potong, di Jepang harganya sekitar 450 yen atau sekitar 50.000.
Selepas makan sushi di Tokyo Solamachi, saya pergi ke hotel baru. Aku juga tinggal di sana beberapa hari. Mungkin cerita mengenai pengalaman di Jepang selepas kongres akan diterbitkan lain kali, kalau lagi mood.
Pokoknya, dank' al Dio, dank' al Esperanto, dank' al la subteno de S-ino Micukaŭa Sumiko mi povis iri al Japanio, sperti eksterlandon, ĝui kongreson kaj la programerojn, kaj renkonti agrablegan amikaron. Udah, pokoknya setuju aja dah!
Foto favorit saya. Saya (baju garis-garis), JoMo (berdasi), sejumlah anak muda yang ramahnya selangit, dan dua orang tua yang baik hati, ibu Tahira Masako (kanan) dan Kitagawa Ikuko (kiri).
 
PER ESPERANTO, POR MONDPACO KAJ AMIKECO, ĜIS REVIDO!
dengan Esperanto, untuk perdamaian dunia dan persahabatan, sampai jumpa!