Monday, October 20, 2014

Wahai Presiden Kami Yang Baru

Presiden Baru!

Saya yakin, jika harapan itu adalah air hujan, seluruh Indonesia akan diguyur hujan lebat seharian ini. Bagaimana tidak, presiden baru kita akan dilantik!
Setelah masa pemerintahan Bapak SBY selama sepuluh tahun, kini Indonesia akan memiliki presiden baru: Bapak Jokowi.

Secara pribadi, saya mengucapkan terima kasih banyak, sebanyak-banyaknya, kepada bapak SBY, yang telah dengan sabar dan secara penuh memerintah NKRI. Meskipun 'jasa' bapak yang saya ingat cuma satu: menjadikan mayday alias hari buruh internasional sebagai hari libur nasional yang baru. Alhamdulillah, nambah libur sehari, kan? :)

Dan secara pribadi pula, saya mendoakan agar bapak Jokowi bisa memimpin rakyat Indonesia dengan amanah, mengedepankan kepentingan bersama, mendahulukan persatuan, kesatuan, perdamaian, dan kesejahteraan rakyat.

Saya mau mendoakan aja, semoga bapak dikarunia kesehatan dan kekuatan fisik dan mental selama memerintah kami, semoga Indonesia bisa lebih maju dan sejahtera di tangan bapak, semoga Allah memberikan rahmat-Nya agar bapak bisa bijak dalam mengambil keputusan, semoga IPK saya tidak jeblok. Aamiin.

Intinya, saya mendoakan yang terbaik untuk Jokowi dan terima kasih banyak pada SBY. Semoga Allah selalu memberkati bapak-bapak sekalian.
SALAM TIGA JARI: PERSATUAN INDONESIA

Friday, October 17, 2014

Work Hard, Play Hard

Kalau kata orang Sunda sih, "Edankeun!"

Intinya, work hard play hard itu semacam pemikiran barat yang memaksimalkan semuanya dan mengedepankan keseimbangan. Kerja sepenuhnya semaksimal mungkin, main juga sepenuhnya, sebisa mungkin. Yah saya rasa teman-teman ngerti deh, ya. Jadi kalau kita kerja seharian, harus ada penghilang stres biar relaks dan gak depresi karena pekerjaan.

Pemikiran barat ini sedikit demi sedikit diadopsi orang Indonesia. Bisa dilihat, di mall-mall, di cafe-cafe, dan di restoran-restoran ternama, orang-orang dengan stelan formal menikmati sedikit waktu luangnya.
Menurut pandangan 'tradisional' orang Indonesia, sih, katanya, "Hedon! Gak boleh! Ngabis-ngabisin duit aja! Gue kaggak diajak!" yah pokoknya gitu. Menghambur-hamburkan uang untuk segelas kopi yang harganya puluhan ribu dan makanan enak yang mencapai ratusan ribu. Kata nenek sih, "Udah makan di rumah aja, nyangu (masak nasi), bikin lauk sendiri. Hemat, kan?"
Tapi kata mereka yang lagi ngupi itu sih, "Serah gue dong, duit ya duit gue. Gue juga masih zakat dan sedekah. Sekali-kali boleh, toh?"
Menurut saya sih, asal itu uang kita pribadi yang hak oranglainnya sudah diberikan, oke-oke aja. Sekali-kali, mencari kesenangan, gak apa-apa kan? Lagipula, kita niatkan saja membantu mereka yang bekerja di situ dan mencari suasana baru.
Itu definisi work hard play hard buat orang Indonesia. Kerja, capek, cari relaksasi dan kesenangan.

TAPI

Berdasarkan cerita-cerita dari dosen saya, orang-orang di Amerika sana, meskipun mereka mabuk-mabukan setiap akhir pekan, mereka tetap bisa mengerjakan tugas kuliah, bekerja sepenuhnya, semaksimal mungkin saat hari kerja. Mungkin bagi orang barat, definisi work hard play hard itu, kerja semaksimal mungkin saat hari kerja, bersenang-senang hanya pada akhir pekan.

Di situ letak kesalahan kita. Kita cenderung berpikir, ah saya sudah kerja/kuliah hari ini, pengen senang-senang kan boleh. Padahal, seharusnya kita kerja sepenuhnya saat hari kerja atau kuliah sebenar-benarnya saat hari kuliah, baru bisa bersenang-senang dan bersantai saat libur. Bagi orang Indonesia, work hard play hard harus dilakukan pada hari yang sama, padahal, bagi orang barat, ada jadwalnya.
Bahkan konon, orang barat enggan dihubungi masalah pekerjaan saat sedang berlibur (vacation). Biasanya mereka menyetel semacam balasan automatis untuk email mereka yang isinya, "mohon maaf, pesan tidak bisa dibalas secara langsung karena saya sedang berlibur" gitu deh. Beda dengan budaya orang Indonesia, di mana pekerjaan kantor di bawa ke rumah, dan hasilnya, pekerjaan rumah dan pekerjaan kantor tidak ada yang selesai.
Kata dosen saya, jika ia sedang bersantai berlibur di pantai dan mahasiswa menanyakan jadwal bimbingan skripsi, dia akan menjawab, "HULU SIA!" (orang Sunda pasti ngerti deh)

Yah itulah salah satu pergesaran makna dalam pemaknaan budaya luar di era globalisasi seperti ini. Kesiapan mental kita akan globalisasi masih kurang sepertinya, karena penyerapan budaya luar malah menyebabkan pergeseran makna dan bisa berdampak negatif. Solusinya? Yah, work hard play hard boleh aja, tapi ada jadwalnya, ada tempatnya. Selesaikan dulu work-nya, baru bisa play. Jangan dicampur. Miras dicampur/oplosan aja bisa bikin orang mati, kerjaan dan santai dicampur bisa bikin puyeng!

Wednesday, October 15, 2014

Apa Cinta Benar-benar Ada?

Apa itu cinta?

Cinta, masalah hidup paling populer. Apalagi di kalangan remaja dan anak muda. Hasil saya diskusi dengan diri sendiri, kami mempertanyakan keberadaan cinta.
Memangnya, apa itu cinta?
Jika "orang yang saling mencintai" merujuk kepada mereka yang selalu berbuat baik terhadap satu sama lain, tidak saling menyakiti, memberikan yang terbaik, saling perhatian dan pengertian, mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan bersama, saling melindungi, lalu apa bedanya dengan damai? Bukankah itu termasuk juga kepada definisi perdamaian? (Harap pisahkan soal seks, saya berbicara mengenai cinta, bukan seks, meski kadang seks dianggap bagian dari cinta)
Yang mengherankan, dengan cinta, kita hanya berdamai dengan orang-orang tertentu. Kekasih, hanya berdamai dengan kekasihnya. Suami berdamai dengan istrinya. Anggota keluarga saling berdamai satu sama lain. Tapi kenapa terkadang kita berbuat jahat terhadap orang yang tidak kita cintai?
Jika cinta benar-benar ada, seharusnya dunia ini menjadi dunia yang ideal di mana tidak ada perang dan konflik, ketika semua orang mencintai satu sama lain dan berdamai satu sama lain?
Jika cinta berarti kita siap menghabiskan hidup kita bersama orang tertentu sepanjang umur, bukankah kita BENAR-BENAR akan menghabiskan hidup dengan SEMUA orang (yang kita kenal) sepanjang umur kita?
Pendapat saya mungkin banyak cacatnya. Tapi coba dipikirkan, jika kita mencintai semua orang secara sama, bukankah dunia ini benar-benar menjadi tempat yang damai?
Yah, jika begitu, mungkin tidak ada suami-istri dan mereka hanya sebagai sarana pelestarian spesies umat manusia. Namun saya pribadi, jika ditanya apa itu cinta, akan menjawab, "Cinta adalah perjanjian damai antar individu tertentu yang idealnya berlaku selamanya." Definisi ideal memang.

Bagaimanapun kita hidup di dunia yang realistis. Orang yang saling mencintai pun bisa menyakiti satu sama lain, kan? Pasangan kekasih dan suami-istri pun bisa berpisah, kan? Anak pun bisa durhaka meninggalkan orang tua dan orang tua pun bisa menelantarkan anaknya, kan? Perjanjian damai sesakral pernikahan pun bisa dikhianati manusia, bahkan.

Jadi, adakah cinta? Atau yang ada hanya perjanjian damai? Atau jangan-jangan (yang enggan saya bahas), cinta hanya alat manusia untuk mendapat seks? Yah, konon katanya sih,
(saya tidak mengambil hak cipta apapun terhadap gambar. hak cipta gambar ada pada sumber sebenarnya. gambar berasal dari pencarian google. jika Anda merasa memiliki hak cipta terhadap gambar, mohon segera kontak saya dan saya akan segera menghapus gambar serta saya memohon maaf yang sedalam-dalamnya. NAH KALAU ADA CINTA GAK USAH PAKE RIBET-RIBET NULIS BEGINIAN, KAN?!)

Yang penting, kalau kata mbah Surip sih,..

(sumber dari google. mohon liat gambar di atas untuk disclaimer)

I love you full! Sekian dan Terima kasih

Monday, October 13, 2014

Barangkali berguna? Perhaps It will be Useful? (Bilingual Indonesian-English article)

Atas ide dari seorang teman saya, saya menulis -- mengunggah -- ini.
Yah ini merupakan paper atau makalah saya yang berjudul "Theme and Rheme Progression on Newspaper Articles from BBC and The Jakarta Post" ditulis dalam bahasa Inggris mengenai penggunaan theme dan rheme dalam koran daring BBC dan The Jakarta Post. Isinya mengenai perbedaan penggunaan theme dan rheme dalam kedua koran, yang nota bene berasal dari dua negara berbeda -- yang satu penutur bahasa Inggris yang satu bukan, Ada beberapa perbedaan yang bisa dilihat di sini.
Alasan saya mengunggah ini? Saya sadar bahwa hak cipta penuh ada pada saya selaku penulis. Saya bebaskan hak cipta untuk digunakan HANYA untuk keperluan pendidikan dan pribadi dan TIDAK untuk diperjualbelikan, dan menyertakan referensi kepada saya untuk penggunaannya.
Hal lainnya, saya harus akui banyak kekurangan dalam makalah ini. Analisisnya pun tidak begitu dalam. Namun begitu, saya berharap ada orang yang bisa menjadikan ini berguna. Yah meski tidak masuk ke jurnal tingkat internasional, setidaknya karena makalah ini saya dapat nilai A untuk mata kuliah yang dimaksud. Yah, artinya setidaknya dosen saya sudah approve. File ada di bawah, semoga berguna.

Well I should thank my friend for his idea, that I write --upload-- this article.
Well this is my paper with the title of "Theme and Rheme Progression on Newspaper Articles from BBC and The Jakarta Post", written in English about the theme and rheme progression from the online newspaper BBC and The Jakarta Post that is originated from two countries: UK and Indonesia, one is native English speaking country and one is not. There are several differences that can be concluded from this paper.
Why did I upload this? Well basically I realized that I am the full bearer of the copyright as I am the writer. I set the copyright free ONLY for education and personal purposes and NOT to be sold, and to use the references to me for the usage.
Another thing that I should confess is that, I personally realized that this paper is lack of deep analysis and other mistakes. However, I hope that somebody might find this useful. Well even though it is not included in an international journal, I got A for the subject because of this paper, which means that at least my lecturer(s) already approved it. You may find the file below. Hopefully it will be useful!


Stya-Lacksana, S. A. Z.(2014). Theme and Rheme Progression on Newspaper Articles from BBC and The Jakarta Post.

File bisa diunduh / File can be downloaded DISINI/HERE

Thursday, October 9, 2014

Ngupil

Kok judulnya gitu sih?

Ngupil itu kegiatan yang aneh. Kita mencari sesuatu dengan susah payah, seketemunya, dibuang.
Tapi di kehidupan pun kita sering "ngupil" kok.

Hah?

Iya. Apa sih yang kita cari dalam hidup ini? Kebahagiaan? Kepuasan?
Katakanlah kita mencari kebahagiaan. Memangnya apa yang disebut bahagia itu? Jika misalkan kita bahagia dengan menikmati secangkir kopi seharga 50.000 rupiah plus free wifi, setelah kopi itu habis, kebahagiaan kita juga habis dong? Lihat, ngupil kan. Susah-susah kita cari uang segitu, dijajanin kopi biar bahagia, sehabisnya kopi, udah aja kembali lagi ke kehidupan nyata. Bukankah itu membuang kebahagiaan kita?
Jika kita bahagia dengan berpacaran, setelah putus, kebayang kan patah hatinya kayak apa? Susah-susah pedekate, ngajak jalan kesana-kemari, quality time, segala macem lah, terus jadian. Bahagia? So pasti. Udah lama pacaran, ternyata gak cocok terus. Putus. Sakit. Dibuang itu kebahagiaan. Ngupil juga kan, susah-susah cari pacar, kok diputusin?
Definisi kebahagiaan pasti rancu. Secangkir kopi tadi, bisa jadi menjadi definisi kebahagiaan yang sesaat saja. Hubungan asmara antar kekasih, bisa jadi menjadi definisi kebahagiaan untuk sementara waktu. Terus kalau kita mencari kebahagiaan dan kebahagiaan itu pada akhirnya akan hilang, apa yang sebenarnya kita cari?
Menikah saja, yang dibilang "hidup bahagia selamanya" tentu akan menjadi sedih sedu sedan ketika pasangannya meninggal dunia. Jika orang religius bilang beribadah adalah kebahagiaan (sebenernya saya gak boleh mengganggu gugat yang ini), jika ia terlalu asyik dengan kehidupannya dan lupa ibadah maka ia "ngupil" juga dong?
Mungkin memang kodrat hidung manusia menyaring kotoran hingga meskipun dibersihkan jutaan kali ke salon paling mahal sekalipun, upil akan tetap muncul dan kita akan terus "menggali harta karun". Mungkin memang kodrat hidup manusia yang mencari kebahagiaan sehingga meskipun kebahagiaan yang lalu sudah "dibuang" ia akan mencari kebahagiaan lain.
Lagipula, definisi bahagia bagi setiap orang kan berbeda. Untuk seorang dosen, mungkin ia bahagia saat tesis/desertasinya menjadi referensi untuk tesis/desertasi lainnya di seluruh dunia. Untuk seorang pebisnis, menandatangani kontrak senilai milyaran rupiahlah yang mungkin mebahagiakannya. Untuk seorang guru, melihat muridnya sukses menjadi orang penting tentu kebahagiaan tiada tara. Untuk seorang anak kosan, mungkin temannya yang berbagi makanan gratis menjadi kebahagiaan di tanggal 28.

Saya sering liat hashtag "Bahagia itu Sederhana". Really? Coba kau lepas itu HP kau, taruh jauh-jauh laptop dan internet kau. Bisa tahan lima jam, hebat. Bahagia tidak sesederhana itu. Konsep bahagia yang berbeda-beda di benak setiap manusia menjadikannya rumit. Mungkin jika kita melihat anak-anak di perkampungan yang tertawa lepas saat mandi di kali, kita bisa bilang, "mereka aja bahagia tanpa HP, bahagia itu sederhana." sekarang saya tanya, apa Anda bahagia tanpa HP? gak gelisah? tenang aja? Maka bahagia tidak sederhana bagi Anda.

Kadang saya ingin kembali jadi anak kecil, di mana konsep "bahagia itu sederhana" benar-benar ada pada diri saya. Ketika saya menertawakan kehidupan, alih-alih memikirkannya. Ketika saya belum tahu beratnya hidup dan tanggung jawab yang harus diemban. Ketika saya senang hanya dengan bermain petak-umpet bersama teman sebaya. Ketika saya tertawa lepas, tanpa memikirkan tanggung jawab apapun. Bahagia ya? Nampaknya hidup kita terlau berat sampe-sampe kehidupan anak kecil saja kita idam-idamkan.

Kembali ke ngupil. Beberapa orang mencoba mencari kebahagiaan abadi. Ada yang mencarinya dengan uang. Apa mereka bahagia? Bisa jadi. Apa mereka tenang? Belum tentu. Mereka bisa saja merasa tidak tenang karena kepemilikan harta yang banyak akan dicopet oleh orang jahat. Ada yang mencarinya dengan kekuasaan. Apa mereka bahagia? Bisa jadi. Apa mereka tenang? Belum tentu. Mereka bisa saja takut ada orang yang ingin mengudeta dirinya dan melengserkannya dari jabatannya. Ada yang mencarinya dengan ibadah. Apa mereka bahagia? Bisa jadi. Apa mereka tenang? Belum tentu. Mereka bisa saja merasa tidak tenang takut-takut ibadahnya tidak diterima Tuhan dan malah menjerumuskan mereka ke api neraka. Ada yang mencarinya dengan berfoya-foya. Apa mereka bahagia? Bisa jadi. Apa mereka tenang? Belum tentu. Mereka bisa saja khawatir kehabisan uang dan sumber daya untuk kesenangan mereka. Jadi, adakah kebahagiaan abadi itu? (Karena saya menikmati banyak dogma agama, mari kita singkirkan agama dari pembahasan ini dan kita anggap agama sudah memiliki jawabannya: kebahagiaan abadi di surga. kita pikirkan di luar itu, kalau berkenan)

Jangan-jangan, kita diciptakan memang untuk ngupil. Selalu mencari, kadang membuang, lalu mencari lagi, tak pernah berhenti, dan bertanya-tanya dalam diri, "apa suatu saat hidungku akan berdarah karena terlalu banyak ngupil?"

Wednesday, September 24, 2014

Yang Kecil

Tadi pagi dapet sedikit pencerahan dari salah satu dosen favorit saya.

Ujug-ujug setelah masuk dia berujar, "Semoga kalian bukan termasuk orang yang tidak tahu aturan, ya."

Jadi begini. Kampus saya punya kebijakan, kalau pengen naik lift, mahasiswa harus naik dari lantai dua, sementara lantai satu hanya untuk dosen saja. Dosen saya, Ibu Saf, naik dari lantai satu. Lalu ada dosen dari jurusan lain yang mengajak mahasiswanya untuk masuk lift. Lantas Bu Saf menegur, "Eh jangan bu, dia mahasiswa, kan?" Dan Bu Saf pada intinya tidak mengizinkan mahasiswa  naik dari lantai satu.

Beliau berkata, pembiaran seperti ini yang bisa bikin masalah. Banyak dari kita yang membiarkan sesuatu terjadi, padahal hal tersebut tidak sesuai dengan yang seharusnya. Contohnya hal di atas. Beliau memberikan contoh lain, yakni seorang polantas yang membiarkan seorang preman mengatur lalu lintas sementara dia bersantai. Menurutnya, hal ini menyebabkan si preman merasa memiliki hak yang lebih daripada yang seharusnya. Di sisi lain, polantas tersebut tidak memenuhi job descriptionnya, malah memberikannya pada preman.

Kalau dipikir-pikir, emang begitu ya orang Indonesia itu. Peraturan-peraturan kecil banyak yang dilanggar karena alasan sepele yang kadang tidak logis. Padahal semua ingin perubahan, semua ingin maju, semua ingin sejahtera. Tapi, gimana mau sejahtera, kalau ngantri aja gak bisa?
Ah iya, masalah ngantri. Coba perhatikan orang Indonesia kalau mau naik bus kota/damri. Semua ingin masuk duluan. Biar apa? Biar duduk. Padahal duduk atau berdiri sama saja sampai ke tujuan. Saya yang tadinya mau menerapkan antri, yah apa boleh buat. Saya sebenarnya tidak masalah berdiri, hanya saja kalau saya mengantri,bisa-bisa tahun depan saya masuk busnya!

Memang mungkin kita masih jauh dari kata maju. Jepang sudah megenal budaya antri dan mematuhi peraturan sejak jaman dulu. Lah di kita, pada sadar aja belom. Mau kapan majunya?

Yuk berpikir. Sudahberapa banyak peraturan kecil ataupun besar yang pernah Anda langgar? Apa Anda merasa berdosa, kapok, dan tidak mau mengulang lagi? Atau jangan-jangan sudah terbiasa melanggar? Kenapa? Gak ada yang lihat? Gak akan ketauan? Buru-buru? 

Biar saya tutup dengan satu kalimat dari Bu Saf yang saya konstruksi ulang dan saya tambahkan sedikit
Jangan biarkan ketidakberadaan orang-orang membuatmu melanggar peraturan.Peraturan dibuat  untuk kepentinganmu dan kepentingan bersama. Bukan untuk dilanggar dan mendapat uang dari denda. 

Tuesday, September 16, 2014

Menghargai Waktu

Sejak kecil saya dididik untuk menghargai waktu.

Masih teringat jelas dalam kepala saya, semenjak SD, saya selalu datang paling pagi di sekolah. Rumah saya tidak begitu dekat dengan sekolah, lagi. Terus kenapa? Orang tua saya bertugas di sekolah yang cukup jauh dari rumah sehingga harus berangkat lebih awal. Karena mereka berangkat awal, tentu saya yang diantar jadi ikut berangkat awal juga. Awalnya dituntut keadaan, akhirnya terbawa hingga sekarang.
Hingga saat ini saya termasuk oang yang menghargai dan menjunjung tinggi ketepatan waktu. Jika saya ada janji, saya mengharuskan diri hadir selambat-lambatnya lima menit sebelum waktu yang ditentukan. Jika saya mengabari janji, setidaknya sehari sebelumnya saya ajukan biar pasti. Tentu kedua hal ini berdampak positif: saya tidak pernah terlambat kuliah atau terlambat memberikan tugas.

Namun yang suka bikin saya berpikir dalam-dalam, orang-orang di sekitar saya, orang Indonesia, malah sedikit yang menghargai ketepatan waktu. Kalau janji dengan kawan-kawan, gak sedikit yang datang semaunya. Jangankan begitu, yang telat menghadiri perkuliahan aja banyak. Kadang kan suka gatel sendiriii, ngeliaat temen sendiriiii, dateng telat ke kampuuusss....

Hari minggu kemarin saya ada jadwal ngajar Esperanto di komunitas faktabahasa. Saya sudah beritahu narahubungnya sejak Kamis atau Jumat bahwa saya ingin clubbing hari Minggu pukul 11 siang. Katanya akana dia jarkom. Taunya? Baru dikirim pesannya hari Minggu pukul 10 pagi. Alhasil, peserta yang datang cuma sedikit, kan.
Ada kejadian baru lagi. Teman saya mengabari pertemuan pada pukul 3 sore, dan diberi kabarnya pukul 7 pagi, hari yang sama. Yah, padahal hari sebelumnya saya sudah buat janji yang lain, jadinya kan, saya gak ikut pertemuan tersebut. Coba dikasih tahu hari sebelumnya, mungkin saya bisa ikut dan mengulur janji yang lain.
Waktu dulu saya jarkom club Esperanto faba, selambat-lambatnya sehari sebelum jadwal sudah saya infokan. Barangkali ini 'efek samping' dari hasil diomeli orang tua kalau baru bilang ada tugas sesuatu pada malam harinya, "Kenapa gak bilang dari tadi? Jam segini mau cari begituan di mana coba? Kalau bilang dari tadi kan bisa dicari. Lain kali kalo ada apa-apa, jangan mendadak!" Dan kalimat terakhir itulah yang menempel di telinga saya, barangkali.
Jangankan mahasiswa. Dosen pun suka mendadak. "Maaf saya tidak bisa masuk kelas karena ada tugas ke luar kota." Padahal hari itu kita hanya ada satu mata kuliah dan itu jam 7 pagi. Tahu gitu kan gak usah mandi?! :D "Kelas pengganti dilaksanakan esok hari. Atur tempatnya." OMG tadinya mau libur kan gak jadi liburnyaa T_T
Apalagi pejabat. Ujug-ujug berhalangan, ngaret, hingga konon pernah ada salat Jumat yang ditunda hingga 45 menit untuk menunggu pejabat yang selaku khatib datang. MAU JADI APA BANGSA INI?!

Allah padahal sudah memberi konsep tepat waktu pada manusia: salat. Salat tepat waktu sangatlah utama. Andai semua orang bisa menerapkan salat tepat waktu, tentu akan nerap ke kehidupan sehar-hari juga toh?

Katanya, jangan ubah yang besar, ubah dulu yang kecil-kecil, nanti yang besar ngikut berubah juga. Yuk, mulai dengan diri sendiri, kita biasain tepat waktu. Mulai dari salat, kuliah, hingga mengabari. Siapa tahu, Jepang bisa kita susul. Ya toh?

Tuesday, September 9, 2014

Manusia Karbitan

Istilah 'karbitan' digunakan orang-orang (setidaknya orang Sunda yang banyak berada di sekitar saya) untuk merujuk kepada buah yang belum matang dan dimatangkan dengan bantuan karbit, dipaksa matang begitu deh.

Saya adalah manusia karbitan. Bukan maksudnya saya disimpan di peti bersama seonggok karbit dan ditutup rapat selama seminggu. Saya adalah 'korban' akselerasi. Saya menyelesaikan pendidikan jenjang SMP-SMA hanya dalam waktu 4 tahun.
Barangkali yang Anda pikir adalah "Wah pasti pintar." "Wah orang genius." "Nak, kamu kayak dia, ya. Pinter, hebat, bisa lulus SMP-SMA 4 tahun, hemat 2 tahun lho nak."
Saya sendiri tidak merasa begitu pintar. Yah, mungkin cukup pintar untuk masuk kelas akselerasi namun jika dibandingkan dengan teman-teman lainnya saya ada di bawah mereka. Setidaknya saya merasa pintar dalam bidang bahasa. Yah, semua manusia punya kelebihan masing-masing bukan?

Efek samping dari program pengarbitan ini adalah....saya mulai kuliah dua tahun lebih awal. Di kelas saya, sayalah yang termuda. Sisanya tersebar dari kelahiran 1992-1994 sementara hanya saya yang lahir pada tahun 1996. Akibatnya, saya dipanggil 'dede' oleh teman-teman sekelas.

Namun ada satu yang saya syukuri dari pemaksaan-pendewasaan diri ini. Dengan berkuliah dua tahun lebih awal, saya dipaksa lebih dewasa dua tahun daripada teman-teman saya. Apa saja yang saya dapatkan? Jangan sebut dewasa dulu deh. Seenggaknya ada beberapa hal yang sudah saya rasakan. antara lain:
1. Saya bisa ketawa gak jelas, saat mengerjakan paper 3000 kata dan stuck di 2800 kata, dan gak tahu harus nulis apa
2. Bisa tahu rasanya rusuh saat deadline tugas jam 12 namun hingga jam 11 belum selesai mengerjakan
3. Bisa tahu rasanya rusuh saat kuliah jam 7 dan pada perkuliahan pertama ada tugas yang harus diserahkan. Saat itu jam lima subuh dan Anda masih mengerjakan tugasnya
4. Bisa tahu rasanya overwhelming saat tugas menggunung dan Anda tidak tahu harus dikerjakan dari mana
5. Bisa tahu rasa bangga saat berhasil mengerjakan paper sejumlah 1000, 2000, bahkan 3000 kata. Berasa jadi orang pinter, sumpah!
6. Bisa travelling bersama teman-teman ke beberapa tempat. Dan travelling bersama teman (apalagi budget travel) sangat jauh berbeda dengan travelling bersama keluarga)
Dan terlalu banyak hal menarik lain yang berharga bagi saya.

Tanpa memandang rendah kawan-kawan maba, saya sangat bersyukur. Saya pernah jadi maba juga. Pernah merasakan euforia maba, eksplor tempat baru dengan teman baru, hang-out ngobrol ngalor-ngidul. Barangkali baru itu hal-hal yang maba rasakan. Sementara saya, sudah dua tahun lebih maju dan banyak pengalamannya.

"Ah, tapi masa SMP-SMAnya berkurang, ya sama aja. Nugas mulu, belajar mulu, mainnya kapan?"
Percaya atau tidak, anak aksel juga mahasiswa biasa. Saya dan teman-teman aksel suka ngumpul, makan bersama, nongkrong, main. Yah, kita gak selamanya makan buku dan nyemilin hitungan kok.

Sebenernya saya bikin artikel ini sebagai pembangkit semangat diri sendiri. Saya sedang sedikit kewalahan dengan tugas dan harus menyemangati diri sendiri, Karena kelak, setelah tugas selesai, maka saya merasa bangga terhadap diri sendiri bahwa saya berhasil melaluinya.

Biar saya tutup dengan ini:
Isilah sebuah toples dengan sebuah batu besar. Apa toples itu penuh? Tidak
Isilah dengan beberapa batu sedang hingga tidak bisa diisi lagi. Sudah penuh? Tidak.
Isilah dengan batu-batu kecil hinga penuh. Tidak bisa penuh, masih ada ruang kosong.
Isilah dengan pasir hingga ke atas. Penuh? Ya! Atau....tidak?
Yakin penuh? Coba tuangkan air hingga penuh. Pasirnya turun, memadat. Berarti tadi tidak penuh.
Toples itu hidup Anda. Mau toplesnya sebesar apapun, itu urusan Tuhan. Tapi semua orang ingin toplesnya penuh bukan? Coba jangan diisi dengan yang cetek seperti batu besar. Isilah dengan pasir atau air atau keduanya. Jangan diisi dengan satu pengalaman, coba cari pengalaman lain yang banyak. Agar hidup anda jadi penuh.
 
 
 

Thursday, September 4, 2014

Siapkah kita?

Oke, mungkin sedikit telat. Tapi saya ingin mengomentari kasus FS. Itu loh, yang ngantre di SPBU Jogja, nyinyir di media sosial, dan berujung meja hijau.
Buat yang belum tahu, begini cerita singkatnya...
Alkisah seorang perempuan berinisial FS, seorang mahsiswi UGM Jogjakarta. Dia ngantre mau beli bensin di salah satu SPBU. Karena BBM agak langka, antrean panjang mengular, dan dia ngantre di antrean untuk roda empat padahal dia bawa motor. Petugas SPBU gak mau ngisiin, dia juga ngotot. Akhirnya polisi yang jaga datang dan menengahi.
Belum selesai. Di medsosnya, dia ngedumel. Yah ngedumel doang sih gak apa-apa, masalahnya dia pake kata-kata kasar. Masyarakat  Jogja lihat dan merasa marah. FS dirisak (di-bully--red) di jagat maya, bahkan sampai ke dunia nyata. Massa menuntut dia diadili, diberi sanksi akademik dan sebagainya.
Mungkin Anda berpikir, "Hey, salah dia pake ngedumel pake kata-kata kasar segala." Tapi apakah tidak sedikit berlebihan membawa kasusnya ke ranah hukum? Dijadikan bahan bulan-bulanan di dunia internet pun sudah cukup membuat kapok dan sakit hati. Dan ini? Diseret ke meja hijau?
Konon ia sudah bosan dengan Jogjakarta. Yah itu memang perasaan dia, kan? Lalu kenapa dijerat dengan pencemaran nama baik? Dia tidak memfitnah siapapun, sepengetahuan saya. Dia tidak membuka aib siapapun. Dia hanya mengutarakan pemikirannya terhadap kota tempat tinggalnya.
Bukannya saya membenarkan tindakan FS. Tentu saja hal seperti itu perbuatan tidak terpuji. Namun saya juga sedikit menertawakan reaksi masyarakat yang terlalu lebay. Pernah di-bully di media sosial? Bayangkan saja, dia sudah di-bully oleh masyarakat seluruh Indonesia. Di media sosial, di portal berita, di forum dan milis. Kurang apa lagi?! Saya pernah merasakan di-bully beberapa orang di facebook karena memberi komentar yang bertentangan dengan pemikiran beberapa orang. Itu tidak enak sama sekali. Hanya sekitar 4 atau 5 orang saja yang mem-bully saya dan saya sudah merasa enggan berdebat di medsos lagi. DI-BULLY OLEH SELURUH PENGHUNI DUNIA MAYA INDONESIA DI SELURUH PENJURU RANAH INTERNET. Kalo saya, bisa stres dan depresi! Belum lagi menghadapi sanksi akademik dan sanksi pidana yang  menjeratnya. Belum lagi konsekuensi jangka panjang. Akan banyak tempat kerja yang mem-blacklist namanya. Akan banyak lembaga yang menolak dirinya. Apa tidak terlalu berlebihan?
Saya jadi bertanya. Sebenarnya, siapkah kita dengan adanya internet? Memang, informasi jadi bisa didapat dengan cepat. Namun tindakan yang berlebihan seperti di atas, apa perlu?
Selain kasus FS, saya rasa banyak yang bisa menyebutkan masalah yang muncul gara-gara internet. Pembunuhan karena selingkuh di facebook. Penculikan gara-gara kenalan dengan orang asing di milis internet. Pasti banyak deh. Lebay gak sih sebenarnya? Pelaku mungkin salah, tapi mungkin bertindak berlebihan hingga pembunuhan itu tidak perlu, kan ya?
Jadi, siapkah kita dengan internet? Atau jangan-jangan....mental kita terlalu 'tempe' untuk bersentuhan dengan internet? Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang.

Wednesday, June 25, 2014

Kartu Pos dari Gelendzhik (Postcard from Gelendzhik - English version below)

[ID]
Baru saja beberapa hari yang lalu dapat sebuah kartu pos yang unik. Seperti ini penampakannya:


Kartu posnya memang berpenampilan jadul. Ini memang salah satu jenis kartu pos yang saya suka.
Gambarnya menunjukkan kota Gelendzhik. Si penulis menceritakan sejarah singkat kota Gelendzhik. Dibangun awalnya pada abad ke-6 oleh koloni Yunani di semenanjung barat Rusia, tepatnya di distrik Krasnodar Krai. Pedesaan mulai bermunculan pada tahun 1864 di Gelendzhik dan kini dikenal sebagai salah satu kota tujuan wisata di Rusia.

Yah berkat kartu pos ini saya seenggaknya tahu salah satu tujuan jika mampir ke Rusia nanti. Setelah saya cari di google. sepertinya Gelendzhik merupakan salah satu destinasi yang bagus di Rusia. Jika ada yang berminat mengunjunginya, ada karnival atau parade setiap bulan awal Juni di sini. Artinya, Gelendzhik adalah kota yang penuh budaya juga. Aduh, jadi pengen lancong ke luar negeri...

-----------------------------------------------------------------------------------------------
[EN]

Several days ago I got a unique card from Russia. The image of the postcard can be seen in the Indonesian version above.

A vintage-looking postcard is one of my most favorite postcard, just like this card. It shows the city of Gelendzhik. The writer wrote a brief history about it. It was settled by the Greek colony in the district of Krasnodar Krai, western Russia, on the 6th century and it is the first mentioned settlement of this city. Villages are started to be founded in 1864 and since 1907 until now it is a resort town.

I tried to google about Gelendzhik and it seems that it is one of the best destinations in Russia. Some website said that there is a carnival every beginning of June. Well, it makes me want to travel abroad... I wish I could visit Gelendzhik sometime. Amen!

Friday, June 6, 2014

Kisah Kartu Pos - Suva, Fiji (English version included below. Postcard Story - Suva, Fiji)

Setelah lama gak nulis karena gak tau mau nulis apa, akhirnya saya memutuskan untuk menjadikan blog saya ruang pameran kartu pos...

Kartu pos pertama yang akan saya ceritakan, merupakan kartu pos dari Fiji. Ini nih:


Kartu pos tersebut merupakan kartu pos pertama saya dari Fiji. Lumayan susah lho dapat kartu pos dari Fiji. Di situs postcrossing sendiri hanya ada 7 orang yang merupakan anggota dari Fiji. Kartu pos ini juga salah satu favorit saya: karena kartu posnya panjang, ukurannya tidak biasa. Dan kartu  pos seperti itu merupakan favorit saya.
Kartu pos di atas memperlihatkan suasana di pasar Suva. Dan sama seperti di beberapa daerah di Indonesia, Fiji punya hari pasar juga. Penulis kartu pos ini menuliskan bahwa pasar ini buka pada hari Jumat dan di pasar Suva ini bisa ditemukan ikan dan makanan laut lainnnya yang tidak dijual pada hari lain, hanya hari Jumat. Selain ikan dan makanan laut, buah dan sayur dari seantero Fiji juga ditangkan pada Jumat subuh untuk dijual di pasar Suva.
Dari kartu pos ini saya melihat budaya yang sama, hari pasar. Tuh kan, saya sudah mengetahui rutinitas masyarakat Fiji pada hari Jumat padahal belum ke Fiji. Tapi saya berdoa: semoga suatu saat saya bisa ke Fiji dan melihat pasar Suva dengan mata kepala saya sendiri.


------------ENGLISH-------------
I will publish some of my cards to my blog (and perhaps all my cards if possible) so that I could share the world in a piece of card.

The first card that I would like to share is a card from Fiji. The picture of the postcard is available in the Indonesian version above.

The card shows the Suva market in  Suva, capital of Fiji. It is my first card from Fiji and I am very glad to have it. As in postcrossing, there are only 7 members from Fiji and I got a card from one of those seven guys!

The Suva market is operated every Friday. I am a bit surprised that Fijian have a slightly similar culture with Indonesian in some areas: that they both got a market day. It is the day when people buy and sell goods in the market, it is Friday in Suva. Well at least that''s what the writer told me. People could find seafood in this market, and also vegetables and fruits as well. The local people bring their fruits and vegetables to this market very early in the morning to sell them in Suva market.

And even though I haven't visited Fiji yet, I know something from Fiji. However, I wish that one day, I will see this Suva market, with my own eyes.

Sunday, April 27, 2014

Kegilaan akan Hobi

Siapa sih yang gak punya hobi?
Mereka yang gak punya hobi kayaknya idupnya dataaaaaarr aaaaajaa.

Hobi saya? Filateli. Bukan sekedar pengumpul prangko. Pengumpul prangko mah, yang segala macam dikumpulin. Eh saya juga pengumpul prangko deng. Filatelis mah, yang mengumpulkan prangko dengan tema tertentu aja,ada spesialisasinya. Spesialisasi saya, di postal history, deltiology (mengumpulkan kartu pos dengan cap pos). Untuk tema prangko, saya kumpulkan tema sejarah, tokoh, ilmu pengetahuan dan seni, flora fauna, animasi, dan prangko unik. Banyak ya, ya makanya saya bilang pengumpul prangko, orang semuanya dikumpulin.

Konon, hobi yang paling diminati di dunia adalah koleksi koin. Dulu saya pernah jalanin, cuma merasa gak nyaman aja, mahal dan sulit. Setelahnya, baru koleksi prangko. Saya rasa, koleksi prangko tidak semahal koleksi koin, meski  mahal juga. Itu mungkin bisa disebut hobi klasik, sudah ada sejak jaman dahulu kala.
Ada juga hobi yang muncul akhir-akhir ini. Sebut saja, koleksi mainan (beberapa teman saya menekuninya), cosplay (ada juga beberapa teman saya yang menekuninya), dan lain-lain.

Ada satu permasalahan yang pernah saya bahas dengan teman-teman saya yang hobi koleksi. Kalap! Ya! Kalau kita jajan benda koleksi kita, pasti uang yang dihabiskan akan melebihi dana yang sudah kita sediakan. Saya, contohnya. Saya selalu mematok uang yang saya habiskan cukup berkisar 50.000 rupiah sekali jajan. Pulang-pulangnya, uang di dompet saya berkurang lebih dari itu, hingga 150.000 rupiah malah pernah. Di perjalanan pulang, saya baru bertanya pada diri sendiri,"Qi, nanti malam makan apa? Uangmu sudah habis lho" Alamak! Bahkan saya gak ingat makan! Begitu pula teman-teman saya, ada cerita dari teman saya yang koleksi mainan gundam, dan pasti menghabiskan beratus-ratus ribu sekali jajan. Lupa daratan pokoknya.

Kemarin saya mengunjungi sebuah toko filateli di Bandung. Saya gak mau menyebut jumlah uang yang saya habiskan, tapi saya bilang ke si mbak kasirnya, "Tuh kan, gara-gara mbak uang saya habis. Saya mah gak boleh ke sini sering-sering lama-lama, nanti bangkrut" sementara si mbak hanya tersenyum sambil bilang, "Gak apa-apa mas, investasi." Ya! investasi!

Filateli bukan sekedar koleksi 'sampah' berharga. Dalam dua puluh tahun, jangan lama-lama deh, dalam tiga tahun, prangko yang saat ini harganya bisa naik berkali-kali lipat! Apalagi prangko yang sudah dua puluh, lima puluh, bahkan seratus tahun. Saya punya selembar prangko Tiongkok dari tahun 1962 yang menggambarkan pertunjukan Mei Lanfang, saya cek di katalog, harganya mencapai tiga ratus ribu rupiah, 300.000 rupiah! Hanya selembar saja padahal! Lalu saya bertanya-tanya nilai prangko Nederland Indie tahun 1941, dan prangko Portugal 1898 yang saya miliki. Sama seperti investasi, setelah beberapa lama, nilainya akan melejit, itulah filateli.

Bukannya memandang rendah hobi yang lain, tapi saya merasa hobi klasik semacam filateli dan numismatik memiliki investasi. Kalaupun sangat butuh uang, seluruh koleksinya bisa dilelang murah yang pasti akan dikerubungi oleh filatelis lain. Ya barangkali koleksi mainan juga akan diburu oleh kolektor lain juga, tapi mungkin harganya tidak akan begitu berbeda jauh.
Dalam filateli, sebuah jenis prangko dicetak minimal 300.000 set. sebuah carik kenangan biasanya 30.000 set, dan sampul hari pertama 5000 set. Bayangkan saja, hanya 5000 lembar yang dicetak dan Anda memiliki salah satunya. Selain itu, masa jual benda filateli dengan harga muka (yang tertera) hanyalah tiga tahun. Selebihnya, PT Pos Indonesia tidak berhak menjualnya, dan hanya kolektor yang bisa menjualnya. Yang namanya kolektor, tentu mencari untung. harganya tidak akan harga muka lagi, yang berarti setelah tiga tahun pun harganya sudah mulai naik. apalagi jika dicetak terbatas. Apalagi jika ada sisanya setelah masa jualnya habis, yang berarti kurang dari (misalkan, sampul hari pertama) lima ribu lembar yang ada di dunia ini. Semakin langka, semakin susah dapatnya,semakin naik nilainya.

Tapi jujur, saya lebih menghargai mereka yang punya hobi koleksi, seperti koleksi prangko, koleksi koin, koleksi benda antik, koleksi mainan, koleksi uang, hingga koleksi bungkus rokok (menghitung hari?). Karena dalam koleksi-mengoleksi, benda yang kita koleksi merupakan puzzle yang harus kita selesaikan. Seorang filatelis belum puas jika set koleksinya belum lengkap. Dalam menyelesaikan puzzle inilah kita dijadikan kalap ketika belanja, "Oh God, look, that is one of the stuffs that I'm looking for right now!". Ting! Mesin kasir berbunyi, benda berpindah ke tangan kita, uang pindah ke laci kasir, dan kita bertanya-tanya makan apa nanti malam.

Akhir-akhir ini saya sedikit menahan diri. Saya pengen liburan, dan harus nabung. Tapi masih banyak utang kartu pos yang harus saya kirim. Semoga saja cepat selesai, dan saya bisa nabung (yah, keburu libur deh, gak jadi liburannya deh).

Siapapun yang hobinya koleksi sesuatu, ketahuilah, ANDA KEREN!!! Setidaknya dari sudut pandang jumlah koleksi Anda.

Monday, January 27, 2014

Jogja!

Kayaknya destinasi yang bernama "Jogjakarta" tidak akan bosan untuk dihinggapi turis, baik lokal maupun interlokal :D maksudnya, turis dari Indonesia ataupun luar negeri akan gatel untuk mengunjungi Jogjakarta lagi dan lagi...

Kemarin saya baru saja berkunjung lagi ke sana, untuk yang ketiga kalinya. Tapi jujur, I have to admit it, ini jalan-jalan yang paling berkesan buat saya. IT WAS MY BEST TRIP EVER! x)

Saya ke Jogja bareng temen-temen kuliah, kami yang ikut ada empat orang termasuk saya. Ceritanya sih backpacker begitu, namun tiak begitu juga, saya rasa..

Kami berangkat hari Senin. Hari Minggunya ada kabar bahwa salah seorang teman kami harus mengikuti bimbingan akademik pada hari Rabu. Ketar-ketir lah kami, takutnya perjalanan kami malah gak jadi. Untungnya, beliau diperkenankan melakukan bimbingan akademik pada hari Senin, dan rencananya kami akan naik kereta Kahuripan ke Jogjakarta yang berangkat pukul 20.30 dari stasiun Kiaracondong Bandung. Siangnya kami berencana beli tiket kereta. Tadinya mau beli di minimarket gitu. Taunya gak bisa, karena harus dari hari sebelumnya. Jadi kami harus beli di stasiun, yang pembelian terakhirnya adalah pada pukul lima sore. Mana ada salah seorang teman yang harus mengantar pacarnya, pula. Kami menunggu lama sambil harap-harap cemas, lalu kami berangkat. Untungnya dengan waktu yang mepet, lalu lintas yang bikin keringetan, dan sopir angkot yang kejar setoran, kami sampai di stasiun sekitar jam lima kurang sepuluh menit dan bisa membeli tiket kereta, dan untungnya lagi, kami bisa membeli kursi untuk empat orang yang berhadap-hadapan, yang rupanya tinggal tersisa hanya bagi kami!
Esoknya, sekitar pukul lima kami tiba di stasiun Lempuyangan Jogjakarta. Kami salat subuh, lalu berjalan kaki ke Malioboro sekitar lima belas atau dua puluh menit. Kami mandi di Masjid gedhe keraton Jogjakarta, sarapan gudeg di Malioboro, dan menyewa mobil. Ya! Hari itu kami menyewa mobil, karena kami akan ke gua Pindul dan pantai.
Gua Pindul adalah gua yang sangat indah. Cukup membayar Rp30.000 per orang, maka kita bisa menikmati gua ini, sambil duduk di atas ban dan mengikuti arus air, ditemani pembimbing yang menjelaskan mengenai fitur gua Pindul selama sekitar setengah hingga satu jam. Selain itu, ada juga gua-gua lain, dan bisa juga melakukan aktivitas lain seperti rafting, yang tidak kami lakukan. Setelah itu pantai. Kami bertolak ke pantai Indrayanti.
Pantai Indrayanti sebenarnya bernama asli pantai Pulang Syawal. Namun karena ada restoran terkenal bernama Indrayanti, jadilah dinamakan pantai Indrayanti (mungkin agar lebih mudah). Pantainya indah, pasirnya bagus, hanya saja tidak boleh berenang. Selepas zuhur tadinya kami berencana bersantai di atas tebing di sisi kiri pantai Indrayanti. Namun kami menemukan jalan menuju pantai Trenggale, yang lebih indah dibandingkan pantai Indrayanti dan sangat sepi. Saat itu tidak ada siapapun kecuali kami berempat. Serasa punya pantai pribadi. Di pantai Trenggale terdapat terumbu kareng di pinggirnya, yang terasa seperti karpet, dan ada cekungan-cekungannya bagaikan jacuzzi alami di pinggir pantai. Yang rencananya gak basah-basahan, yah akhirnya basah kuyup deh x) Karena mendung dan gelap, kami berencana pulang. Kami segera bersih-bersih, dan bertolak menuju Jogjakarta. Dan tahu apa, keberuntungan lainnya, begitu kami naik mobil dan siap berangkat. Hujan pun turun dengan deras. Hoki lagi deh x)
Kami makan malam di Raminten, jalan FM Noto no. 7 Jogjakarta. Makanan dan minumannya murah serta nikmat, dan tempatnya nyaman bikin kami betah. Sayangnya kami gak bisa tidur di situ, kayaknya. Ya iyalah wong tempat makan. Kami bertolak ke McD untuk ngecas HP. Dan tidur. Tapi kami tidur di dalam mobil di parkirannya. Yah, sewa mobil sekalian sewa penginapan, gitu...
Hari ketiga, kami bangun sedikit siang, sekitar pukul setengah tujuh. Kami langsung bertolak ke keraton untuk numpang mandi dan lain-lain. Setelah mengembalikan mobil, kami sarapan di Raminten (lagi), dan setelahnya kami berniat mengunjungi Prambanan dan Keraton Ratu Boko.
Prambanan, biasa saja. Hanya itu kesempatan pertama saya masuk ke candi Syiwa. Candi yang paling besar, yang mungkin dibuat untuk menyembah Syiwa paling banyak. Secara, Syiwa kan dewa penghancur, ya takut dihancurkan x)
Keraton Ratu Boko, konon merupakan tempat tinggal Loro Jonggrang. FYI, Ratu Boko bukanlah seorang wanita cantik, tapi seorang laki-laki. Karena menurut bahasa Sanksekerta, Ratu Boko adalah nama seorang laki-laki. Kami menikmati sunset di sini, karena kemarinnya kami tidak sempat menikmati sunset di pantai. Yaa, terbayarkan lah, kurang lebih...
Setelah di Malioboro kembali, kami mencari penginapan. Dari sekian ratus penginapan yang ada, kami jatuh hati pada penginapan bernama "The Cabin Hotel" bukan hanya harganya yang murah, tapi sewa kamar juga dihitung per jam. Kata mbaknya sih, backpacker friendly gitu...
Esoknya kami menyewa motor ke Kaliurang. Kami kurang beruntung hari ini, karena GPS yang kami andalkan untuk mencari jalan mati dan tidak berfungsi di daerah pegunungan (atau bisa jadi karena kami kualat, di candi Wisnu berteriak, "Wisnu main yuk!" dan menyanyi, menari, tidur-tiduran, dan bersantai di candi Pembakaran, yang merupakan tempat pembakaran mayat/ngaben). Untungnya kami bisa menemukan jalan hingga ke museum Ullen Sentalu, museum budaya Jawa di Kaliurang. Kami pulangnya pun kehujanan (tuh kan, karena kualat dan sompral kayaknya). Untungnya gak apa-apa. Setelah check-out dari hotel, kami cari oleh-oleh di Mirota Batik, Malioboro, dan bertolak ke stasiun Lempuyangan.
Kami pulang hari itu, pukul 19.10 kereta kami berangkat ke Bandung.




Itu merupakan perjalanan yang terbaik buat saya.
Silakan gunakan artikel ini sebagai referensi jalan-jalan di Jogja meski isinya cuma sedikit. Pertanyaan? Silakan di kolom komentar.

Last word: Guys, let's do that again, to another place!

Saturday, January 18, 2014

Benda Apa yang Persegi, Kecil, Diam di Pojok, tapi Bisa Keliling Dunia?

Yap, jawaban Anda betul: PRANGKO!

hehehe, sekarang saya mau cerita soal prangko ah~

FIlateli. Seolah jadi hobi baruku....
Ceritanya dimulai pada tahun 2006, Syauqi yang masih duduk di kelas tiga SD tengah membaca artikel di majalah Bobo mengenai filateli. Waktu itu Pos Indonesia menerbitkan prangko unik yang berbentuk bulat, berupa stiker, dan tengahnya berlubang membentuk siluet pemain bola. Majalah Bobo menyebutkan bahwa harga satu set prangkonya berharga sepuluh ribu rupiah, terdiri dari empat buah prangko yang masing-masing berharga 2.500 rupiah. Dijual dalam bentuk buku, yang berisi juga informasi mengenai piala dunia. Esoknya, ia sengaja belok ke kantor pos dulu, beli prangko dengan uang yang dia simpan entah untuk apa.
Dan sekarang....koleksi pertamanya itu hilang entah ke mana, mungkin di tumpukan kardus di belakang rumahnya, menunggu dalam gelap dan lembab.
Beberapa lama kemudian, ia mulai membeli prangko-prangko. Namun kebanyakan ia pakai untuk mengirim kartu pos untuk sayembara majalah Bobo. Yang tersisa saat ini hanyalah satu prangko seri cerita rakyat yang menggambarkan cerita Timun Emas.
Perlahan ia meninggalkannya. Karena menghabiskan uangnya dan ribet. Ia lupa bahwa ada benda di dunia ini yang bernama prangko...
April 2013. Ia bertemu beberapa penutur Esperanto di kongres Esperanto Indonesia. Tuan So Gil Su dari Korea dan Tuan Bill Mak dari Hong Kong memberinya prangko bertema Esperanto. Dia teringat kembali mengenai prangko.
Satu saat dia membereskan buku di lemari kakeknya dan menemukan satu buku bersampul merah tebal. Ia kira itu adalah ensiklopedi. Namun ternyata itu album filateli. Ia melihat-lihat dan berpikir bahwa prangko itu sebenarnya unik dan asyik untuk dikoleksi. Ia telah memiliki prangko Esperanto untuk dikoleksi. Apa salahnya jika dia memulai semuanya dari awal?
Saat ini, dia rela makan biasa aja dan menurunkan kualitas-kualitas sehari-harinya, seperti pulpen. Demi prangko. Lama-lama, dia ikut OCD demi prangko x)

Bagiku, prangko itu mencerminkan identitas negara. Karena gambarnya bisa berupa budaya, cerita rakyat, pemimpin, hingga flora fauna dari negara tersebut. Prangko juga merupakan secarik kecil sejarah untuk masa depan.
Omong-omong soal sejarah, saya punya beberapa prangko dari negara yang terdengar asing. Antara lain, Tanganyika. Rupa-rupanya, itu adalah Tanzania di tahun 60an. Sejarah kan, Tanganyika sudah tidak ada, tapi prangko dari Tanganyika masih ada. Begitu pula dengan Jerman Barat, Jerman Timur, dan Uni Soviet. Mereka sudah tidak ada, tapi prangkonya masih ada.

Banyak sekali kebahagiaan yang aku dapatkan dari prangko. Meski cuma secarik kertas, prangko berarti banyak. Prangko mencerminkan usaha sang pengirim membuat senang si penerima. Prangko mengisyaratkan bahwa sang pengirim ingin membuat gambaran yang positif bagi negerinya. Melalui prangko sang pengirim bisa bercerita sedikit mengenai negerinya. Prangko melambangkan negara. Prangko adalah salah satu identitas bangsa.

Maka saya memutuskan menjadi filatelis. Bukan sekedar hobi, tapi juga investasi. Selain investasi ilmu yang kita dapat dari cerita di balik prangko tersebut, juga harga prangko bisa meroket setelah sekian lama.
Hidup filateli!

Friday, January 17, 2014

Toilet di Jepang

Judulnya sedikit menjijikan, ya?

Tapi beneran, ini asyik untuk dibahas karena toilet di Jepang betul-betul berbeda  dengan toilet di Indonesia. Biar saya mulai dengan sebuah kutipan dari seseorang,

"Orang Jepang membutuhkan listrik di manapun, bahkan di toilet"

Yap! Toiletnya saja butuh listrik. Bukan, bukan listrik seperti lampu atau pemanas air. Tapi lebih dari itu.
Pertama kali saya ketemu dengan toilet di Jepang adalah di bandara Narita. Habis mendarat, saya ingin buang air kecil. Mampir lah saya ke toiletnya. Saya pakai urinoir, karena toilet berpintu berisi semua. Heran, ya, biasanya di Indonesia, urinoir itu ada tombolnya untuk mencet biar air keluar. Ini gak ada. Oh, pasti toilet otomatis, kata saya. Karena di rest area jalan tol Cipularang km. 90 ada toilet otomatis juga. Setelah saya sedikit menjauh, barulah air keluar secara ajaib (baca: otomatis).
Hotel Sunnex Funabori, kamar 310. Sayangnya, toilet di hotel ini biasa aja kayak toilet duduk di Indonesia. Gak asyik dibahas. Lewat.
Tower Hall Funabori, Edogawa, Tokyo. Cuma sempet ikut buang air kecil di urinoirnya. Sama seperti di Narita, urinoirnya otomatis.
Tokyo Jamii, Yoyogi-uehara, Tokyo. Perjumpaan pertama saya dengan toilet tradisional Jepang. Toilet jongkok, hanya beda dengan di Indonesia. Itu loh, yang suka ada di anime-anime horror gitu... Penampakannya seperti ini:

Sophia University, Yotsuya, Tokyo. Toiletnya sangat ajaib. Saya tiba-tiba kebelet pipis dan minta ditunjukkin toilet. Setelah sampai, saya berpikir, "Alamak, apa-apaan sih toiletnya kok gelap begini, di mana ya saklarnya?" Lalu saya melangkah satu langkah sambil nyari saklar, dan tiba-tiba semuanya terang. Oke, lampunya otomatis dan pake sensor pula. Keren banget. Urinoirnya juga otomatis.
Sementara itu, yang menyandang jadi toilet favorit saya selama di Jepang adalah toilet di.....
Tokyu Stay Yotsuya Hotel, Yotsuya, Tokyo. Toiletnya asyik banget. Kenapa? Tempat duduknya hangat (ada pemanasnya, biar pantat gak beku kalau BAB pada musim dingin kali ya), bahkan kita 'dicebokin'. Ya, ada alat yang keluar dari toilet dan memancarkan air untuk membersihkan pantat. Ehehe~ x) Tapi bagian paling aku suka sih tempat duduknya yang hangat.

Aku sempat ngobrol dengan Prof. Kimura, seorang dosen di Sophia University. Aku kan nyeletuk, "Bahkan di kamar mandi orang Jepang butuh listrik untuk mennghangatkan tempat duduknya, ya. Beda jauh dengan di Indonesia." Dia bilang, "Justru itu menjadi masalah besar buat kami. Ingat kan reaktor Fukushima pernah bocor? Nah, waktu itu listrik jadi susah, pemadaman listrik dimana-mana. Kami jadi gak bisa pake toilet. Bukan karena kami manja gak mau pake toilet yang gak berlistrik, kami sih oke-oke aja, toh itu kebutuhan dasar manusia, tapi yang jadi masalah, air gak bisa keluar. Ya, air gak bisa keluar karena biasanya katup buka-tutupnya bisa membuka karena ada listrik. Gimana kami bisa pake toilet kalau air gak bisa keluar? Itu menjadi masalah yang besar. Di saat kayak gini, kami cuma bisa mengandalkan toilet tradisional yang betul-betul tradisional, yang gak pake sistem auto-flush, tapi disiram."
Rupanya kalau ada bencana force major mereka jadi orang Indonesia juga, ya...

Intinya? Negara semodern Jepang pun, yang bahkan membutuhkan banyak listrik untuk toilet SAJA, meskipun tampak modern dan canggih, mempunyai masalah tersendiri dan bisa jadi seperti Indonesia kalau ada bencana. 

Jujur saja, salah satu hal yang saya rindukan dari Jepang adalah tempat duduk toilet yang hangat dan cebok otomatis. Sayang sekali saya gak ngambil foto-foto toiletnya. Semoga saja suatu saat nanti, saya bisa kembali duduk di toilet yang hangat dan dicebokin (meski harus recheck takutnya belum bersih).

Wednesday, January 15, 2014

Sejak Kapan Pria Harus Berambut Pendek?

Haloo~

Udah pada tahu kan gaya rambut pria kebanyakan? Pendek. Rapi. Ya model standarnya seperti itulah. Bahkan kalau rambut saya sedikit gondrong, orangtua sudah ngomel-ngomel saya kayak gembel, rambutnya begitu.

Tapi beneran, sejak kapan pria harus berambut pendek?

Mari kita naik mesin waktu ke masa lalu. Kenal pria di gambar berikut:
 Itu adalah Gajah Mada (credit to Wikipedia). Setidaknya, penggambarannya. Apa yang mencolok dari gambar itu? Bukan, bukan busana atasan Gajah Mada yang tembus pandang (alias tidak berbusana), coba perhatikan rambutnya. Panjang terurai indah, bak model iklan shampo. Beliau pria loh. Buktinya, bertelanjang dada di muka umum tidak menyebabkan masalah besar.
Perhatikan juga gambar berikut:
Itu Yesus Kristus, setidaknya, penggambarannya. Apa kesamaan yang dimiliki Yesus dan Gajah Mada? Betul, sama-sama digambarkan berambut panjang. Mereka berdua pria, kan?!
Lihat juga gambar berikut:
Itu adalah Isaac Newton, setidaknya, penggambarannya (credit to Wikipedia). Apa lagi yang sama dengan Yesus dan Gajah Mada? Yap, rambutnya yang panjang, setidaknya hingga bahu! Kebetulan? Lihat lagi gambar-gambar di bawah deh

Bangsawan Eropa di zaman yang lalu, bahkan memakai wig agar rambut mereka panjang.
Seorang Arab badui di Jordania, terlihat memiliki rambut yang panjang. (credit to Wikipedia)

Pria-pria dari suku asli Amerika. Berambut panjang.
Terkadang pendekar kungfu digambarkan memiliki rambut panjang.
Penggambaran Arjuna dan Krisna, memiliki rambut yang panjang juga.

Bagaimana dengan Rasulullah? Menurut Wikipedia, berdasarkan hadis Sahih Muslim (buku 30 nomor 5773), Rasulullah memiliki rambut yang panjangnya hingga bahu. Karena kita tidak boleh menggambarkan Rasul, yah cukuplah hadis sebagai bahan rujukan...

Secara kasar, bisa dibilang di seluruh penjuru dunia pria berambut panjang populer. Mulai dari Eropa, Amerika, hingga Indonesia, Timur Tengah, dan India. Apa yang sama? Kebanyakan, pria yang digambarkan memiliki rambut panjang ini adalah pejuang, pendekar, atau orang yang kedudukannya tinggi (bahkan Tuhan [Yesus bagi umat Nasrani] dan Dewa [Krisna bagi umat Hindu]). Konon, memang sebelum perang dunia pertama, rambut panjang sangat populer bagi pria karena menunjukkan kejantanan dan kedudukan sosial yang tinggi.
Semuanya berubah ketika negara api menyerang (baca: perang dunia dimulai)
Setelah perang dunia, rambut pria dipangkas menjadi pendek untuk memperhatikan kedislipinan. Ya, orang Eropa lah yang mengubah mindset masyarakat dunia, merekalah yang 'menyatakan' bahwa rambut panjang bagi pria terkesan jelek, tidak rapi, dan berandalan. Awalnya, mereka mewajibkan polisi, tentara, dan pihak militer untuk memotong rambutnya menjadi pendek (barangkali biar pas perang gak riweuh sama rambut, ya), namun lama-kelamaan image di masyarakat pun berkembang, bahwa pria berambut pendek lebih rapi, sopan, dan enak dilihat. Mungkin juga kan, zaman dahulu belum ada pemangkas rambut alias barber shop, jadinya rambut pada panjang =)
Bagaimana dengan dunia Muslim? Jika Rasul dikisahkan berambut panjang, bukankah kita seharusnya mengikuti Rasul? Nah, bagi kita, dikisahkan bahwa mengubah rambut menjadi pendek adalah untuk membedakan antara pria dan wanita. Tapi, bukankah wanita dalam Islam diharuskan berhijab dan tidak boleh memperlihatkan rambutnya? Iya, tapi apa mungkin di dunia yang heterogen ini semua wanita berjilbab? Tidak, kebanyakan wanita ngikut gaya zaman dahulu. Berambut panjang. Dan banyak yang tidak berjilbab. Maka dari itu pria Muslim lebih baik jika rambutnya mengikuti gaya Eropa.

Well, sekarang pun rupanya banyak pria berambut panjang. Tapi ya, pria berambut panjang lebih diakui pada zaman dahulu. Kalau jadi pria yang berambut panjang di masa kini, gak boleh marah deh pokoknya kalau disangka wanita, karena sekarang, wanitalah yang berambut panjang. Bukan pria.

Jadi? Penyebab perubahan gaya rambut pada pria adalah PERANG. Makanya, say no to war. Salam damai, sekian! Semoga bermanfaat~

Monday, January 13, 2014

Culture Shock Experience

Well, kalau ke luar negeri kayaknya gak mungkin gak ngalamin yang namanya culture shock alias kejut budaya, deh...

Kemarin ke Jepang pun, saya mengalaminya. Singkat cerita, saya waktu itu mau makan siang. Di tengah jalan ketemu teman saya yang orang Jepang, namanya Midori, Mamiya Midori. Nah Midori ini mempertemukan saya dengan Yuna, Choi Yu Na, yang sudah saya kenal sebelumnya. Ngobrol-ngobrol, mereka ngajak makan siang bareng. Ya udah sih, daripada nge-jones, makan siang bareng mereka. Juga bareng dua orang Jepang lainnya, Kyo Iwama (Kyo) dan Kentaro Okunuki (Kentaro), sama satu orang Vietnam, Nguyen Thi Nep (Nepo), dan satu orang Korea lainnya, Eun Kyung Jung (Unika). Nah, makanlah kita, dua meja. Aku semeja bareng Kentaro, Unika, dan Yuna. Yah, ngobrol sama Kentaro dan Unika lebih banyak, karena baru kenal. Sementara aku dan Yuna udah kenal dari bulan April 2013. Waktu itu aku makan mie, yang gak mengandung babi pokoknya. Porsinya gede banget, dasar rakus, habis olehku sendirian. Enak banget abisnya! Selesailah itu makan-makan, giliran bayar-bayar. Bonnya dikasih ke Kentaro. Aku tanya, aku harus bayar berapa. Dia bilang, "Udah kamu gak usah bayar, kamu ditraktir kita aja." Ya waktu itu aku seneng lah. Rezeki, gitu loh. Dan aku gak mikirin lagi.
Waktu berlalu, lalu besoknya kita makan bareng lagi. Kali ini sama Kyo, Kentaro, Unika, Yayoi (orang Jepang) Leo, Jonas (dua-duanya orang Jerman), dan JoMo (baca: Yomo. Orang Prancis. Nama aslinya sih Jean Marc Leclercq). Ngobrol banyak juga. Seneng lah, ketemu temen baru. Aku makan sejenis donburi, paket nasi plus lauknya dalam satu mangkuk, dan gak mengandung babi juga (meski rada susah, nasib orang Islam ya, pergi ke negeri orang non-Islam, ya susah cari makan :p). Enak banget! Lalu pas giliran bayar, aku tanya lagi, aku harus bayar berapa. Gini situasinya:
"Eh, aku bayar berapa nih?" tanyaku
*Kyo dan Kentaro saling berpandangan. Aku gak tahu apa-apa. Bingung*
*Hening sejenak*
"Udah kamu gak usah bayar, kita traktir." kata Kyo.
"Ayolah, kemarin-kemarin kalian udah traktir aku, masa' sekarang traktir lagi? Nanti kalian bangkrut dong." kata aku, merasa gak enak udah pernah ditraktir.
*hening sejenak*
"Lagipula, uang makan aku ditanggung ibu Mitsukawa Sumiko, kok. Dia yang bayar jadinya, bukan aku, begitu."
*terdengar obrolan dalam bahasa Jepang antara Kyo, Kentaro, dan Yayoi. Syauqi, Jonas, dan JoMo terdiam. Leo, kelihatannya mengerti, tapi diem aja*
"Gini loh, dirimu di Jepang. Di sini, budayanya, yang sudah bekerja harus traktir yang masih sekolah atau kuliah kalau makan bareng." jelas Kyo
"Tapi di Indonesia,kalau makan bareng ya bayar masing-masing, kecuali udah ada perjanjian ada yang mau bayarin." kata aku
"Sudahlah, kamu kan di Jepang, ikut budaya Jepang, kalau kita ke Indonesia, ya kita juga ikut budaya Indonesia. Oke, sob?" kata Kyo
Ya sudah. Aku nurut aja. Toh bener, aku lagi di Jepang, bukan di Indonesia. JEDDDEEERRR! Di situlah culture shock pertama seumur hidupku. Ditraktir x)
Masalahnya, aku gak ditraktir satu-dua kali, tapi beberapa kali. Setelah tahu kalau ternyata budayanya begitu, dalam hati aku berbisik, "Alamak, malu lah aku makan sama mereka. Besok-besok aku gak mau ah makan bareng mereka lagi, malu. Mau ditaro di mana mukaku ini?" aku juga dalam hati bilang, "Kawan-kawan, kalau kalian ke Indonesia, mungkin aku bisa membalas kebaikan hati kalian. Terima kasih banyak." Tak lupa juga berribu terima kasih aku ucapkan. Bukan kenapa, tapi malu!
Aih, mental Indonesiaku kerap saja berpikir untuk makan bareng mereka dengan gratis. Tapi kalau begitu, ya artinya aku minta. Sebelumnya sih aku nggak tahu. Aku malu banget waktu dibilangin kalau itu budaya mereka, dan sebelumnya aku nyantai aja ditraktir.

Apa pelajaran yang aku dapatkan? Gini loh, sebelum berangkat ke Jepang, aku banyak baca tentang Jepang. Tentang budaya, tetek-bengek, transportasi, bahasa, dll. Tapi, sehebat apapun persiapan aku, yang namanya mengunjungi tempat berbeda, ya pasti ada yang berbeda juga. Aku bisa menyesuaikan diriku dengan teman-teman yang suka minum bir. Aku bisa menyesuaikan diriku berjalan cepat dan mematuhi rambu-rambu penyebrang jalan. Karena aku sudah tahu akan ada hal seperti itu. Namun, pasti ada hal yang kita gak tahu tentang mereka, dan kita akan tahu saat bersentuhan langsung dengan mereka. Intinya, kejut budaya gak bisa dihindari. Pasti ada. Meskipun kecil, seperti yang saya alami. Konon, kejut budaya yang lebih 'ekstrem' bisa menyebabkan depresi, lho!

Itu saja cerita saya tentang budaya Jepang yang tidak terduga. Semoga bermanfaat! ^^

Saturday, January 11, 2014

Sehari menjadi Mahasiswa 'Ilegal' di Sophia University

Entah ada angin apa yang berhembus melalui telinga saya, saya buka blog saya dan membersihkan sarang laba-laba yang sudah mulai banyak di pojokannya....

Sekarang saya mau cerita mengenai Sophia University. Ini merupakan salah satu universitas swasta yang paling terkenal dan paling bagus di Jepang. Universitas Katolik, tepatnya. Kebetulan sekali, ada seorang dosen sosiolinguistik yang baik hati, Prof. Kimura, yang dengan senang hati mengundang saya untuk menghadiri dua kelasnya.
Sebelumnya, teman saya yang bernama Kyo bilang begini pada saya, "Apa?! Kamu mau ke Sophia University? Mana boleh, itu tuh tempatnya elit, banyak cewek cantiknya lagi!" (harap maklum, ini lagam bercandanya dia). Aku cuma memusatkan perhatianku pada frase "banyak cewek cantik" saja :| akhirnya saya putuskan bahwa pada hari Kamis, 17 Oktober 2013 saya akan tampil menawan dengan batik dan wangi. Bukan untuk memikat cewek cantik, tapi untuk memberi gambaran yang sopan dan positif untuk Indonesia.
Pukul sembilan pagi. Saya sudah di Sophia University. Celingukan di tengah kerumunan mahasiswa yang maraton hendak masuk kelas. Prof. Kimura bilang saya harus ke bangunan nomor dua, lantai enam. Tapi entah kenapa saya cuma nemu sampai lantai tiga. Akhirnya saya telepon beliau (yang biaya pulsanya fantastis) dan bilang untuk menemuinya saja di ruangan kuliah.
Gak lama untuk menemukan ruang kuliah tersebut. Kelasnya rapi dan personelnya sedikit. Berbanding terbalik dengan kelas Communicative English Grammar yang mencapai 70 orang. Jumlah siswa di kelas Prof. Kimura hanya sekitar 12 orang, semacam kelas anak mentri. Prof. Kimura mengajar bahasa Jerman. Untungnya saya bisa bahasa Jerman secara pasif (ngerti doang, kagak ngomong). Jadi, kurang lebih saya bisa menangkap apa yang dikatakan oleh sang dosen dan mahasiswanya.
Soal cewek cantik, Kyo benar. Memang mahasiswi-mahasiswi Sophia University cantik-cantik. Sudahlah, yang ini gak perlu diperpanjang. Saya menyesal gak minta kontak mereka, sebatas facebok atau surel *plak
Kembali ke kegiatan belajar mengajar. Kegiatannya menyenangkan sekali. Seperti tidak ada batas di antara dosen dan mahasiswa, dan semuanya berkomunikasi dengan setara. Meski bagi orang Indonesia yang senengnya banyol kayak saya kelas mereka itu agak serius, tapi menyenangkan.
Oiya. Saya disuruh memperkenalkan diri. Ya iya lah, masa membiarkan mahasiswi cantik itu tidak mengetahui nama saya?! Maksudnya, masa membiarkan mereka bingung mengapa ada makhluk asing yang datang ke kelas mereka?! Saya disuruh memperkenalkan diri dengan bahasa ibu. Bahasa Indonesia? Terlalu mudah ditebak. Saya memperkenalkan diri menggunakan bahasa Sunda ragam lemes. Ehehe, pada akhirnya sih ya ketebak juga...
Ada satu mahasiswi yang bertanya pada saya, "Kamu bisa bahasa apa aja?" Aku jawab, "Gak banyak, cuma empat. Indonesia, Sunda, Inggris, dan Esperanto. Sementara saya berada di level beginner untuk bahasa Jerman, Prancis, dan Jepang." Kata Prof. Kimura, "Hebat amat kan, coba tebak umurnya berapa!" pada jawab umurku 18 atau 19 tahun. Oh my God, apa aku setua itu?! Aku bilang bahwa aku masih 17 tahun. Terkesiap mereka. Ehehe, pencitraan banget yak :/
Kelas kedua. Kelas sosiologi. Pengantarnya bahasa Jerman. Membahas mengenai penggunaan pembangkit listrik tenaga nuklir. Karena bencana Fukushima itu loh. Nah aku bilang, bahwa Indonesia pun punya rencana mau bikin PLTN, tapi kontroversial karena banyak perdebatannya. Mereka tanya, "Kalau kamu, setuju atau nggak?" Aku jawab gak setuju. Tadinya mau bilang karena aku takut kita akan ceroboh dan bikin bencana, tapi ya aku bilang aja, "Pasokan listrik kami masih cukup kok, aku yakin." (Dan sialnya, PLN membantah omonganku dengan pemadaman-pemadaman listrik yang bikin nenekku dan tante-tanteku sempoyongan semuanya)
Kelas ini penghuninya cuma lima. Ditambah aku dan dosennya, jadi mahasiswanya cuma tiga. Rupanya mereka mahasiswa tingkat akhir, yang mau bikin skripsi, dan skripsi mereka ada kaitannya dengan dampak sosial dari peristiwa Fukushima itu. Ckckck

Mimpiku cuma satu. Ingin mengunjungi Sophia University, atau universitas lain di Jepang seperti Tokyo University atau Kyoto University, bukan untuk jadi mahasiswa ilegal. Tapi untuk jadi mahasiswa beneran yang dapet beasiswa ke Jepang. Aamiin!
"Gantungkanlah mimpimu setinggi-tingginya, agar Tuhan memeluk mimpimu, dan kelak ia akan memberikan mimpi-mimpimu yang telah kaugantungkan itu."