Monday, January 27, 2014

Jogja!

Kayaknya destinasi yang bernama "Jogjakarta" tidak akan bosan untuk dihinggapi turis, baik lokal maupun interlokal :D maksudnya, turis dari Indonesia ataupun luar negeri akan gatel untuk mengunjungi Jogjakarta lagi dan lagi...

Kemarin saya baru saja berkunjung lagi ke sana, untuk yang ketiga kalinya. Tapi jujur, I have to admit it, ini jalan-jalan yang paling berkesan buat saya. IT WAS MY BEST TRIP EVER! x)

Saya ke Jogja bareng temen-temen kuliah, kami yang ikut ada empat orang termasuk saya. Ceritanya sih backpacker begitu, namun tiak begitu juga, saya rasa..

Kami berangkat hari Senin. Hari Minggunya ada kabar bahwa salah seorang teman kami harus mengikuti bimbingan akademik pada hari Rabu. Ketar-ketir lah kami, takutnya perjalanan kami malah gak jadi. Untungnya, beliau diperkenankan melakukan bimbingan akademik pada hari Senin, dan rencananya kami akan naik kereta Kahuripan ke Jogjakarta yang berangkat pukul 20.30 dari stasiun Kiaracondong Bandung. Siangnya kami berencana beli tiket kereta. Tadinya mau beli di minimarket gitu. Taunya gak bisa, karena harus dari hari sebelumnya. Jadi kami harus beli di stasiun, yang pembelian terakhirnya adalah pada pukul lima sore. Mana ada salah seorang teman yang harus mengantar pacarnya, pula. Kami menunggu lama sambil harap-harap cemas, lalu kami berangkat. Untungnya dengan waktu yang mepet, lalu lintas yang bikin keringetan, dan sopir angkot yang kejar setoran, kami sampai di stasiun sekitar jam lima kurang sepuluh menit dan bisa membeli tiket kereta, dan untungnya lagi, kami bisa membeli kursi untuk empat orang yang berhadap-hadapan, yang rupanya tinggal tersisa hanya bagi kami!
Esoknya, sekitar pukul lima kami tiba di stasiun Lempuyangan Jogjakarta. Kami salat subuh, lalu berjalan kaki ke Malioboro sekitar lima belas atau dua puluh menit. Kami mandi di Masjid gedhe keraton Jogjakarta, sarapan gudeg di Malioboro, dan menyewa mobil. Ya! Hari itu kami menyewa mobil, karena kami akan ke gua Pindul dan pantai.
Gua Pindul adalah gua yang sangat indah. Cukup membayar Rp30.000 per orang, maka kita bisa menikmati gua ini, sambil duduk di atas ban dan mengikuti arus air, ditemani pembimbing yang menjelaskan mengenai fitur gua Pindul selama sekitar setengah hingga satu jam. Selain itu, ada juga gua-gua lain, dan bisa juga melakukan aktivitas lain seperti rafting, yang tidak kami lakukan. Setelah itu pantai. Kami bertolak ke pantai Indrayanti.
Pantai Indrayanti sebenarnya bernama asli pantai Pulang Syawal. Namun karena ada restoran terkenal bernama Indrayanti, jadilah dinamakan pantai Indrayanti (mungkin agar lebih mudah). Pantainya indah, pasirnya bagus, hanya saja tidak boleh berenang. Selepas zuhur tadinya kami berencana bersantai di atas tebing di sisi kiri pantai Indrayanti. Namun kami menemukan jalan menuju pantai Trenggale, yang lebih indah dibandingkan pantai Indrayanti dan sangat sepi. Saat itu tidak ada siapapun kecuali kami berempat. Serasa punya pantai pribadi. Di pantai Trenggale terdapat terumbu kareng di pinggirnya, yang terasa seperti karpet, dan ada cekungan-cekungannya bagaikan jacuzzi alami di pinggir pantai. Yang rencananya gak basah-basahan, yah akhirnya basah kuyup deh x) Karena mendung dan gelap, kami berencana pulang. Kami segera bersih-bersih, dan bertolak menuju Jogjakarta. Dan tahu apa, keberuntungan lainnya, begitu kami naik mobil dan siap berangkat. Hujan pun turun dengan deras. Hoki lagi deh x)
Kami makan malam di Raminten, jalan FM Noto no. 7 Jogjakarta. Makanan dan minumannya murah serta nikmat, dan tempatnya nyaman bikin kami betah. Sayangnya kami gak bisa tidur di situ, kayaknya. Ya iyalah wong tempat makan. Kami bertolak ke McD untuk ngecas HP. Dan tidur. Tapi kami tidur di dalam mobil di parkirannya. Yah, sewa mobil sekalian sewa penginapan, gitu...
Hari ketiga, kami bangun sedikit siang, sekitar pukul setengah tujuh. Kami langsung bertolak ke keraton untuk numpang mandi dan lain-lain. Setelah mengembalikan mobil, kami sarapan di Raminten (lagi), dan setelahnya kami berniat mengunjungi Prambanan dan Keraton Ratu Boko.
Prambanan, biasa saja. Hanya itu kesempatan pertama saya masuk ke candi Syiwa. Candi yang paling besar, yang mungkin dibuat untuk menyembah Syiwa paling banyak. Secara, Syiwa kan dewa penghancur, ya takut dihancurkan x)
Keraton Ratu Boko, konon merupakan tempat tinggal Loro Jonggrang. FYI, Ratu Boko bukanlah seorang wanita cantik, tapi seorang laki-laki. Karena menurut bahasa Sanksekerta, Ratu Boko adalah nama seorang laki-laki. Kami menikmati sunset di sini, karena kemarinnya kami tidak sempat menikmati sunset di pantai. Yaa, terbayarkan lah, kurang lebih...
Setelah di Malioboro kembali, kami mencari penginapan. Dari sekian ratus penginapan yang ada, kami jatuh hati pada penginapan bernama "The Cabin Hotel" bukan hanya harganya yang murah, tapi sewa kamar juga dihitung per jam. Kata mbaknya sih, backpacker friendly gitu...
Esoknya kami menyewa motor ke Kaliurang. Kami kurang beruntung hari ini, karena GPS yang kami andalkan untuk mencari jalan mati dan tidak berfungsi di daerah pegunungan (atau bisa jadi karena kami kualat, di candi Wisnu berteriak, "Wisnu main yuk!" dan menyanyi, menari, tidur-tiduran, dan bersantai di candi Pembakaran, yang merupakan tempat pembakaran mayat/ngaben). Untungnya kami bisa menemukan jalan hingga ke museum Ullen Sentalu, museum budaya Jawa di Kaliurang. Kami pulangnya pun kehujanan (tuh kan, karena kualat dan sompral kayaknya). Untungnya gak apa-apa. Setelah check-out dari hotel, kami cari oleh-oleh di Mirota Batik, Malioboro, dan bertolak ke stasiun Lempuyangan.
Kami pulang hari itu, pukul 19.10 kereta kami berangkat ke Bandung.




Itu merupakan perjalanan yang terbaik buat saya.
Silakan gunakan artikel ini sebagai referensi jalan-jalan di Jogja meski isinya cuma sedikit. Pertanyaan? Silakan di kolom komentar.

Last word: Guys, let's do that again, to another place!

Saturday, January 18, 2014

Benda Apa yang Persegi, Kecil, Diam di Pojok, tapi Bisa Keliling Dunia?

Yap, jawaban Anda betul: PRANGKO!

hehehe, sekarang saya mau cerita soal prangko ah~

FIlateli. Seolah jadi hobi baruku....
Ceritanya dimulai pada tahun 2006, Syauqi yang masih duduk di kelas tiga SD tengah membaca artikel di majalah Bobo mengenai filateli. Waktu itu Pos Indonesia menerbitkan prangko unik yang berbentuk bulat, berupa stiker, dan tengahnya berlubang membentuk siluet pemain bola. Majalah Bobo menyebutkan bahwa harga satu set prangkonya berharga sepuluh ribu rupiah, terdiri dari empat buah prangko yang masing-masing berharga 2.500 rupiah. Dijual dalam bentuk buku, yang berisi juga informasi mengenai piala dunia. Esoknya, ia sengaja belok ke kantor pos dulu, beli prangko dengan uang yang dia simpan entah untuk apa.
Dan sekarang....koleksi pertamanya itu hilang entah ke mana, mungkin di tumpukan kardus di belakang rumahnya, menunggu dalam gelap dan lembab.
Beberapa lama kemudian, ia mulai membeli prangko-prangko. Namun kebanyakan ia pakai untuk mengirim kartu pos untuk sayembara majalah Bobo. Yang tersisa saat ini hanyalah satu prangko seri cerita rakyat yang menggambarkan cerita Timun Emas.
Perlahan ia meninggalkannya. Karena menghabiskan uangnya dan ribet. Ia lupa bahwa ada benda di dunia ini yang bernama prangko...
April 2013. Ia bertemu beberapa penutur Esperanto di kongres Esperanto Indonesia. Tuan So Gil Su dari Korea dan Tuan Bill Mak dari Hong Kong memberinya prangko bertema Esperanto. Dia teringat kembali mengenai prangko.
Satu saat dia membereskan buku di lemari kakeknya dan menemukan satu buku bersampul merah tebal. Ia kira itu adalah ensiklopedi. Namun ternyata itu album filateli. Ia melihat-lihat dan berpikir bahwa prangko itu sebenarnya unik dan asyik untuk dikoleksi. Ia telah memiliki prangko Esperanto untuk dikoleksi. Apa salahnya jika dia memulai semuanya dari awal?
Saat ini, dia rela makan biasa aja dan menurunkan kualitas-kualitas sehari-harinya, seperti pulpen. Demi prangko. Lama-lama, dia ikut OCD demi prangko x)

Bagiku, prangko itu mencerminkan identitas negara. Karena gambarnya bisa berupa budaya, cerita rakyat, pemimpin, hingga flora fauna dari negara tersebut. Prangko juga merupakan secarik kecil sejarah untuk masa depan.
Omong-omong soal sejarah, saya punya beberapa prangko dari negara yang terdengar asing. Antara lain, Tanganyika. Rupa-rupanya, itu adalah Tanzania di tahun 60an. Sejarah kan, Tanganyika sudah tidak ada, tapi prangko dari Tanganyika masih ada. Begitu pula dengan Jerman Barat, Jerman Timur, dan Uni Soviet. Mereka sudah tidak ada, tapi prangkonya masih ada.

Banyak sekali kebahagiaan yang aku dapatkan dari prangko. Meski cuma secarik kertas, prangko berarti banyak. Prangko mencerminkan usaha sang pengirim membuat senang si penerima. Prangko mengisyaratkan bahwa sang pengirim ingin membuat gambaran yang positif bagi negerinya. Melalui prangko sang pengirim bisa bercerita sedikit mengenai negerinya. Prangko melambangkan negara. Prangko adalah salah satu identitas bangsa.

Maka saya memutuskan menjadi filatelis. Bukan sekedar hobi, tapi juga investasi. Selain investasi ilmu yang kita dapat dari cerita di balik prangko tersebut, juga harga prangko bisa meroket setelah sekian lama.
Hidup filateli!

Friday, January 17, 2014

Toilet di Jepang

Judulnya sedikit menjijikan, ya?

Tapi beneran, ini asyik untuk dibahas karena toilet di Jepang betul-betul berbeda  dengan toilet di Indonesia. Biar saya mulai dengan sebuah kutipan dari seseorang,

"Orang Jepang membutuhkan listrik di manapun, bahkan di toilet"

Yap! Toiletnya saja butuh listrik. Bukan, bukan listrik seperti lampu atau pemanas air. Tapi lebih dari itu.
Pertama kali saya ketemu dengan toilet di Jepang adalah di bandara Narita. Habis mendarat, saya ingin buang air kecil. Mampir lah saya ke toiletnya. Saya pakai urinoir, karena toilet berpintu berisi semua. Heran, ya, biasanya di Indonesia, urinoir itu ada tombolnya untuk mencet biar air keluar. Ini gak ada. Oh, pasti toilet otomatis, kata saya. Karena di rest area jalan tol Cipularang km. 90 ada toilet otomatis juga. Setelah saya sedikit menjauh, barulah air keluar secara ajaib (baca: otomatis).
Hotel Sunnex Funabori, kamar 310. Sayangnya, toilet di hotel ini biasa aja kayak toilet duduk di Indonesia. Gak asyik dibahas. Lewat.
Tower Hall Funabori, Edogawa, Tokyo. Cuma sempet ikut buang air kecil di urinoirnya. Sama seperti di Narita, urinoirnya otomatis.
Tokyo Jamii, Yoyogi-uehara, Tokyo. Perjumpaan pertama saya dengan toilet tradisional Jepang. Toilet jongkok, hanya beda dengan di Indonesia. Itu loh, yang suka ada di anime-anime horror gitu... Penampakannya seperti ini:

Sophia University, Yotsuya, Tokyo. Toiletnya sangat ajaib. Saya tiba-tiba kebelet pipis dan minta ditunjukkin toilet. Setelah sampai, saya berpikir, "Alamak, apa-apaan sih toiletnya kok gelap begini, di mana ya saklarnya?" Lalu saya melangkah satu langkah sambil nyari saklar, dan tiba-tiba semuanya terang. Oke, lampunya otomatis dan pake sensor pula. Keren banget. Urinoirnya juga otomatis.
Sementara itu, yang menyandang jadi toilet favorit saya selama di Jepang adalah toilet di.....
Tokyu Stay Yotsuya Hotel, Yotsuya, Tokyo. Toiletnya asyik banget. Kenapa? Tempat duduknya hangat (ada pemanasnya, biar pantat gak beku kalau BAB pada musim dingin kali ya), bahkan kita 'dicebokin'. Ya, ada alat yang keluar dari toilet dan memancarkan air untuk membersihkan pantat. Ehehe~ x) Tapi bagian paling aku suka sih tempat duduknya yang hangat.

Aku sempat ngobrol dengan Prof. Kimura, seorang dosen di Sophia University. Aku kan nyeletuk, "Bahkan di kamar mandi orang Jepang butuh listrik untuk mennghangatkan tempat duduknya, ya. Beda jauh dengan di Indonesia." Dia bilang, "Justru itu menjadi masalah besar buat kami. Ingat kan reaktor Fukushima pernah bocor? Nah, waktu itu listrik jadi susah, pemadaman listrik dimana-mana. Kami jadi gak bisa pake toilet. Bukan karena kami manja gak mau pake toilet yang gak berlistrik, kami sih oke-oke aja, toh itu kebutuhan dasar manusia, tapi yang jadi masalah, air gak bisa keluar. Ya, air gak bisa keluar karena biasanya katup buka-tutupnya bisa membuka karena ada listrik. Gimana kami bisa pake toilet kalau air gak bisa keluar? Itu menjadi masalah yang besar. Di saat kayak gini, kami cuma bisa mengandalkan toilet tradisional yang betul-betul tradisional, yang gak pake sistem auto-flush, tapi disiram."
Rupanya kalau ada bencana force major mereka jadi orang Indonesia juga, ya...

Intinya? Negara semodern Jepang pun, yang bahkan membutuhkan banyak listrik untuk toilet SAJA, meskipun tampak modern dan canggih, mempunyai masalah tersendiri dan bisa jadi seperti Indonesia kalau ada bencana. 

Jujur saja, salah satu hal yang saya rindukan dari Jepang adalah tempat duduk toilet yang hangat dan cebok otomatis. Sayang sekali saya gak ngambil foto-foto toiletnya. Semoga saja suatu saat nanti, saya bisa kembali duduk di toilet yang hangat dan dicebokin (meski harus recheck takutnya belum bersih).

Wednesday, January 15, 2014

Sejak Kapan Pria Harus Berambut Pendek?

Haloo~

Udah pada tahu kan gaya rambut pria kebanyakan? Pendek. Rapi. Ya model standarnya seperti itulah. Bahkan kalau rambut saya sedikit gondrong, orangtua sudah ngomel-ngomel saya kayak gembel, rambutnya begitu.

Tapi beneran, sejak kapan pria harus berambut pendek?

Mari kita naik mesin waktu ke masa lalu. Kenal pria di gambar berikut:
 Itu adalah Gajah Mada (credit to Wikipedia). Setidaknya, penggambarannya. Apa yang mencolok dari gambar itu? Bukan, bukan busana atasan Gajah Mada yang tembus pandang (alias tidak berbusana), coba perhatikan rambutnya. Panjang terurai indah, bak model iklan shampo. Beliau pria loh. Buktinya, bertelanjang dada di muka umum tidak menyebabkan masalah besar.
Perhatikan juga gambar berikut:
Itu Yesus Kristus, setidaknya, penggambarannya. Apa kesamaan yang dimiliki Yesus dan Gajah Mada? Betul, sama-sama digambarkan berambut panjang. Mereka berdua pria, kan?!
Lihat juga gambar berikut:
Itu adalah Isaac Newton, setidaknya, penggambarannya (credit to Wikipedia). Apa lagi yang sama dengan Yesus dan Gajah Mada? Yap, rambutnya yang panjang, setidaknya hingga bahu! Kebetulan? Lihat lagi gambar-gambar di bawah deh

Bangsawan Eropa di zaman yang lalu, bahkan memakai wig agar rambut mereka panjang.
Seorang Arab badui di Jordania, terlihat memiliki rambut yang panjang. (credit to Wikipedia)

Pria-pria dari suku asli Amerika. Berambut panjang.
Terkadang pendekar kungfu digambarkan memiliki rambut panjang.
Penggambaran Arjuna dan Krisna, memiliki rambut yang panjang juga.

Bagaimana dengan Rasulullah? Menurut Wikipedia, berdasarkan hadis Sahih Muslim (buku 30 nomor 5773), Rasulullah memiliki rambut yang panjangnya hingga bahu. Karena kita tidak boleh menggambarkan Rasul, yah cukuplah hadis sebagai bahan rujukan...

Secara kasar, bisa dibilang di seluruh penjuru dunia pria berambut panjang populer. Mulai dari Eropa, Amerika, hingga Indonesia, Timur Tengah, dan India. Apa yang sama? Kebanyakan, pria yang digambarkan memiliki rambut panjang ini adalah pejuang, pendekar, atau orang yang kedudukannya tinggi (bahkan Tuhan [Yesus bagi umat Nasrani] dan Dewa [Krisna bagi umat Hindu]). Konon, memang sebelum perang dunia pertama, rambut panjang sangat populer bagi pria karena menunjukkan kejantanan dan kedudukan sosial yang tinggi.
Semuanya berubah ketika negara api menyerang (baca: perang dunia dimulai)
Setelah perang dunia, rambut pria dipangkas menjadi pendek untuk memperhatikan kedislipinan. Ya, orang Eropa lah yang mengubah mindset masyarakat dunia, merekalah yang 'menyatakan' bahwa rambut panjang bagi pria terkesan jelek, tidak rapi, dan berandalan. Awalnya, mereka mewajibkan polisi, tentara, dan pihak militer untuk memotong rambutnya menjadi pendek (barangkali biar pas perang gak riweuh sama rambut, ya), namun lama-kelamaan image di masyarakat pun berkembang, bahwa pria berambut pendek lebih rapi, sopan, dan enak dilihat. Mungkin juga kan, zaman dahulu belum ada pemangkas rambut alias barber shop, jadinya rambut pada panjang =)
Bagaimana dengan dunia Muslim? Jika Rasul dikisahkan berambut panjang, bukankah kita seharusnya mengikuti Rasul? Nah, bagi kita, dikisahkan bahwa mengubah rambut menjadi pendek adalah untuk membedakan antara pria dan wanita. Tapi, bukankah wanita dalam Islam diharuskan berhijab dan tidak boleh memperlihatkan rambutnya? Iya, tapi apa mungkin di dunia yang heterogen ini semua wanita berjilbab? Tidak, kebanyakan wanita ngikut gaya zaman dahulu. Berambut panjang. Dan banyak yang tidak berjilbab. Maka dari itu pria Muslim lebih baik jika rambutnya mengikuti gaya Eropa.

Well, sekarang pun rupanya banyak pria berambut panjang. Tapi ya, pria berambut panjang lebih diakui pada zaman dahulu. Kalau jadi pria yang berambut panjang di masa kini, gak boleh marah deh pokoknya kalau disangka wanita, karena sekarang, wanitalah yang berambut panjang. Bukan pria.

Jadi? Penyebab perubahan gaya rambut pada pria adalah PERANG. Makanya, say no to war. Salam damai, sekian! Semoga bermanfaat~

Monday, January 13, 2014

Culture Shock Experience

Well, kalau ke luar negeri kayaknya gak mungkin gak ngalamin yang namanya culture shock alias kejut budaya, deh...

Kemarin ke Jepang pun, saya mengalaminya. Singkat cerita, saya waktu itu mau makan siang. Di tengah jalan ketemu teman saya yang orang Jepang, namanya Midori, Mamiya Midori. Nah Midori ini mempertemukan saya dengan Yuna, Choi Yu Na, yang sudah saya kenal sebelumnya. Ngobrol-ngobrol, mereka ngajak makan siang bareng. Ya udah sih, daripada nge-jones, makan siang bareng mereka. Juga bareng dua orang Jepang lainnya, Kyo Iwama (Kyo) dan Kentaro Okunuki (Kentaro), sama satu orang Vietnam, Nguyen Thi Nep (Nepo), dan satu orang Korea lainnya, Eun Kyung Jung (Unika). Nah, makanlah kita, dua meja. Aku semeja bareng Kentaro, Unika, dan Yuna. Yah, ngobrol sama Kentaro dan Unika lebih banyak, karena baru kenal. Sementara aku dan Yuna udah kenal dari bulan April 2013. Waktu itu aku makan mie, yang gak mengandung babi pokoknya. Porsinya gede banget, dasar rakus, habis olehku sendirian. Enak banget abisnya! Selesailah itu makan-makan, giliran bayar-bayar. Bonnya dikasih ke Kentaro. Aku tanya, aku harus bayar berapa. Dia bilang, "Udah kamu gak usah bayar, kamu ditraktir kita aja." Ya waktu itu aku seneng lah. Rezeki, gitu loh. Dan aku gak mikirin lagi.
Waktu berlalu, lalu besoknya kita makan bareng lagi. Kali ini sama Kyo, Kentaro, Unika, Yayoi (orang Jepang) Leo, Jonas (dua-duanya orang Jerman), dan JoMo (baca: Yomo. Orang Prancis. Nama aslinya sih Jean Marc Leclercq). Ngobrol banyak juga. Seneng lah, ketemu temen baru. Aku makan sejenis donburi, paket nasi plus lauknya dalam satu mangkuk, dan gak mengandung babi juga (meski rada susah, nasib orang Islam ya, pergi ke negeri orang non-Islam, ya susah cari makan :p). Enak banget! Lalu pas giliran bayar, aku tanya lagi, aku harus bayar berapa. Gini situasinya:
"Eh, aku bayar berapa nih?" tanyaku
*Kyo dan Kentaro saling berpandangan. Aku gak tahu apa-apa. Bingung*
*Hening sejenak*
"Udah kamu gak usah bayar, kita traktir." kata Kyo.
"Ayolah, kemarin-kemarin kalian udah traktir aku, masa' sekarang traktir lagi? Nanti kalian bangkrut dong." kata aku, merasa gak enak udah pernah ditraktir.
*hening sejenak*
"Lagipula, uang makan aku ditanggung ibu Mitsukawa Sumiko, kok. Dia yang bayar jadinya, bukan aku, begitu."
*terdengar obrolan dalam bahasa Jepang antara Kyo, Kentaro, dan Yayoi. Syauqi, Jonas, dan JoMo terdiam. Leo, kelihatannya mengerti, tapi diem aja*
"Gini loh, dirimu di Jepang. Di sini, budayanya, yang sudah bekerja harus traktir yang masih sekolah atau kuliah kalau makan bareng." jelas Kyo
"Tapi di Indonesia,kalau makan bareng ya bayar masing-masing, kecuali udah ada perjanjian ada yang mau bayarin." kata aku
"Sudahlah, kamu kan di Jepang, ikut budaya Jepang, kalau kita ke Indonesia, ya kita juga ikut budaya Indonesia. Oke, sob?" kata Kyo
Ya sudah. Aku nurut aja. Toh bener, aku lagi di Jepang, bukan di Indonesia. JEDDDEEERRR! Di situlah culture shock pertama seumur hidupku. Ditraktir x)
Masalahnya, aku gak ditraktir satu-dua kali, tapi beberapa kali. Setelah tahu kalau ternyata budayanya begitu, dalam hati aku berbisik, "Alamak, malu lah aku makan sama mereka. Besok-besok aku gak mau ah makan bareng mereka lagi, malu. Mau ditaro di mana mukaku ini?" aku juga dalam hati bilang, "Kawan-kawan, kalau kalian ke Indonesia, mungkin aku bisa membalas kebaikan hati kalian. Terima kasih banyak." Tak lupa juga berribu terima kasih aku ucapkan. Bukan kenapa, tapi malu!
Aih, mental Indonesiaku kerap saja berpikir untuk makan bareng mereka dengan gratis. Tapi kalau begitu, ya artinya aku minta. Sebelumnya sih aku nggak tahu. Aku malu banget waktu dibilangin kalau itu budaya mereka, dan sebelumnya aku nyantai aja ditraktir.

Apa pelajaran yang aku dapatkan? Gini loh, sebelum berangkat ke Jepang, aku banyak baca tentang Jepang. Tentang budaya, tetek-bengek, transportasi, bahasa, dll. Tapi, sehebat apapun persiapan aku, yang namanya mengunjungi tempat berbeda, ya pasti ada yang berbeda juga. Aku bisa menyesuaikan diriku dengan teman-teman yang suka minum bir. Aku bisa menyesuaikan diriku berjalan cepat dan mematuhi rambu-rambu penyebrang jalan. Karena aku sudah tahu akan ada hal seperti itu. Namun, pasti ada hal yang kita gak tahu tentang mereka, dan kita akan tahu saat bersentuhan langsung dengan mereka. Intinya, kejut budaya gak bisa dihindari. Pasti ada. Meskipun kecil, seperti yang saya alami. Konon, kejut budaya yang lebih 'ekstrem' bisa menyebabkan depresi, lho!

Itu saja cerita saya tentang budaya Jepang yang tidak terduga. Semoga bermanfaat! ^^

Saturday, January 11, 2014

Sehari menjadi Mahasiswa 'Ilegal' di Sophia University

Entah ada angin apa yang berhembus melalui telinga saya, saya buka blog saya dan membersihkan sarang laba-laba yang sudah mulai banyak di pojokannya....

Sekarang saya mau cerita mengenai Sophia University. Ini merupakan salah satu universitas swasta yang paling terkenal dan paling bagus di Jepang. Universitas Katolik, tepatnya. Kebetulan sekali, ada seorang dosen sosiolinguistik yang baik hati, Prof. Kimura, yang dengan senang hati mengundang saya untuk menghadiri dua kelasnya.
Sebelumnya, teman saya yang bernama Kyo bilang begini pada saya, "Apa?! Kamu mau ke Sophia University? Mana boleh, itu tuh tempatnya elit, banyak cewek cantiknya lagi!" (harap maklum, ini lagam bercandanya dia). Aku cuma memusatkan perhatianku pada frase "banyak cewek cantik" saja :| akhirnya saya putuskan bahwa pada hari Kamis, 17 Oktober 2013 saya akan tampil menawan dengan batik dan wangi. Bukan untuk memikat cewek cantik, tapi untuk memberi gambaran yang sopan dan positif untuk Indonesia.
Pukul sembilan pagi. Saya sudah di Sophia University. Celingukan di tengah kerumunan mahasiswa yang maraton hendak masuk kelas. Prof. Kimura bilang saya harus ke bangunan nomor dua, lantai enam. Tapi entah kenapa saya cuma nemu sampai lantai tiga. Akhirnya saya telepon beliau (yang biaya pulsanya fantastis) dan bilang untuk menemuinya saja di ruangan kuliah.
Gak lama untuk menemukan ruang kuliah tersebut. Kelasnya rapi dan personelnya sedikit. Berbanding terbalik dengan kelas Communicative English Grammar yang mencapai 70 orang. Jumlah siswa di kelas Prof. Kimura hanya sekitar 12 orang, semacam kelas anak mentri. Prof. Kimura mengajar bahasa Jerman. Untungnya saya bisa bahasa Jerman secara pasif (ngerti doang, kagak ngomong). Jadi, kurang lebih saya bisa menangkap apa yang dikatakan oleh sang dosen dan mahasiswanya.
Soal cewek cantik, Kyo benar. Memang mahasiswi-mahasiswi Sophia University cantik-cantik. Sudahlah, yang ini gak perlu diperpanjang. Saya menyesal gak minta kontak mereka, sebatas facebok atau surel *plak
Kembali ke kegiatan belajar mengajar. Kegiatannya menyenangkan sekali. Seperti tidak ada batas di antara dosen dan mahasiswa, dan semuanya berkomunikasi dengan setara. Meski bagi orang Indonesia yang senengnya banyol kayak saya kelas mereka itu agak serius, tapi menyenangkan.
Oiya. Saya disuruh memperkenalkan diri. Ya iya lah, masa membiarkan mahasiswi cantik itu tidak mengetahui nama saya?! Maksudnya, masa membiarkan mereka bingung mengapa ada makhluk asing yang datang ke kelas mereka?! Saya disuruh memperkenalkan diri dengan bahasa ibu. Bahasa Indonesia? Terlalu mudah ditebak. Saya memperkenalkan diri menggunakan bahasa Sunda ragam lemes. Ehehe, pada akhirnya sih ya ketebak juga...
Ada satu mahasiswi yang bertanya pada saya, "Kamu bisa bahasa apa aja?" Aku jawab, "Gak banyak, cuma empat. Indonesia, Sunda, Inggris, dan Esperanto. Sementara saya berada di level beginner untuk bahasa Jerman, Prancis, dan Jepang." Kata Prof. Kimura, "Hebat amat kan, coba tebak umurnya berapa!" pada jawab umurku 18 atau 19 tahun. Oh my God, apa aku setua itu?! Aku bilang bahwa aku masih 17 tahun. Terkesiap mereka. Ehehe, pencitraan banget yak :/
Kelas kedua. Kelas sosiologi. Pengantarnya bahasa Jerman. Membahas mengenai penggunaan pembangkit listrik tenaga nuklir. Karena bencana Fukushima itu loh. Nah aku bilang, bahwa Indonesia pun punya rencana mau bikin PLTN, tapi kontroversial karena banyak perdebatannya. Mereka tanya, "Kalau kamu, setuju atau nggak?" Aku jawab gak setuju. Tadinya mau bilang karena aku takut kita akan ceroboh dan bikin bencana, tapi ya aku bilang aja, "Pasokan listrik kami masih cukup kok, aku yakin." (Dan sialnya, PLN membantah omonganku dengan pemadaman-pemadaman listrik yang bikin nenekku dan tante-tanteku sempoyongan semuanya)
Kelas ini penghuninya cuma lima. Ditambah aku dan dosennya, jadi mahasiswanya cuma tiga. Rupanya mereka mahasiswa tingkat akhir, yang mau bikin skripsi, dan skripsi mereka ada kaitannya dengan dampak sosial dari peristiwa Fukushima itu. Ckckck

Mimpiku cuma satu. Ingin mengunjungi Sophia University, atau universitas lain di Jepang seperti Tokyo University atau Kyoto University, bukan untuk jadi mahasiswa ilegal. Tapi untuk jadi mahasiswa beneran yang dapet beasiswa ke Jepang. Aamiin!
"Gantungkanlah mimpimu setinggi-tingginya, agar Tuhan memeluk mimpimu, dan kelak ia akan memberikan mimpi-mimpimu yang telah kaugantungkan itu."