Wednesday, September 24, 2014

Yang Kecil

Tadi pagi dapet sedikit pencerahan dari salah satu dosen favorit saya.

Ujug-ujug setelah masuk dia berujar, "Semoga kalian bukan termasuk orang yang tidak tahu aturan, ya."

Jadi begini. Kampus saya punya kebijakan, kalau pengen naik lift, mahasiswa harus naik dari lantai dua, sementara lantai satu hanya untuk dosen saja. Dosen saya, Ibu Saf, naik dari lantai satu. Lalu ada dosen dari jurusan lain yang mengajak mahasiswanya untuk masuk lift. Lantas Bu Saf menegur, "Eh jangan bu, dia mahasiswa, kan?" Dan Bu Saf pada intinya tidak mengizinkan mahasiswa  naik dari lantai satu.

Beliau berkata, pembiaran seperti ini yang bisa bikin masalah. Banyak dari kita yang membiarkan sesuatu terjadi, padahal hal tersebut tidak sesuai dengan yang seharusnya. Contohnya hal di atas. Beliau memberikan contoh lain, yakni seorang polantas yang membiarkan seorang preman mengatur lalu lintas sementara dia bersantai. Menurutnya, hal ini menyebabkan si preman merasa memiliki hak yang lebih daripada yang seharusnya. Di sisi lain, polantas tersebut tidak memenuhi job descriptionnya, malah memberikannya pada preman.

Kalau dipikir-pikir, emang begitu ya orang Indonesia itu. Peraturan-peraturan kecil banyak yang dilanggar karena alasan sepele yang kadang tidak logis. Padahal semua ingin perubahan, semua ingin maju, semua ingin sejahtera. Tapi, gimana mau sejahtera, kalau ngantri aja gak bisa?
Ah iya, masalah ngantri. Coba perhatikan orang Indonesia kalau mau naik bus kota/damri. Semua ingin masuk duluan. Biar apa? Biar duduk. Padahal duduk atau berdiri sama saja sampai ke tujuan. Saya yang tadinya mau menerapkan antri, yah apa boleh buat. Saya sebenarnya tidak masalah berdiri, hanya saja kalau saya mengantri,bisa-bisa tahun depan saya masuk busnya!

Memang mungkin kita masih jauh dari kata maju. Jepang sudah megenal budaya antri dan mematuhi peraturan sejak jaman dulu. Lah di kita, pada sadar aja belom. Mau kapan majunya?

Yuk berpikir. Sudahberapa banyak peraturan kecil ataupun besar yang pernah Anda langgar? Apa Anda merasa berdosa, kapok, dan tidak mau mengulang lagi? Atau jangan-jangan sudah terbiasa melanggar? Kenapa? Gak ada yang lihat? Gak akan ketauan? Buru-buru? 

Biar saya tutup dengan satu kalimat dari Bu Saf yang saya konstruksi ulang dan saya tambahkan sedikit
Jangan biarkan ketidakberadaan orang-orang membuatmu melanggar peraturan.Peraturan dibuat  untuk kepentinganmu dan kepentingan bersama. Bukan untuk dilanggar dan mendapat uang dari denda. 

Tuesday, September 16, 2014

Menghargai Waktu

Sejak kecil saya dididik untuk menghargai waktu.

Masih teringat jelas dalam kepala saya, semenjak SD, saya selalu datang paling pagi di sekolah. Rumah saya tidak begitu dekat dengan sekolah, lagi. Terus kenapa? Orang tua saya bertugas di sekolah yang cukup jauh dari rumah sehingga harus berangkat lebih awal. Karena mereka berangkat awal, tentu saya yang diantar jadi ikut berangkat awal juga. Awalnya dituntut keadaan, akhirnya terbawa hingga sekarang.
Hingga saat ini saya termasuk oang yang menghargai dan menjunjung tinggi ketepatan waktu. Jika saya ada janji, saya mengharuskan diri hadir selambat-lambatnya lima menit sebelum waktu yang ditentukan. Jika saya mengabari janji, setidaknya sehari sebelumnya saya ajukan biar pasti. Tentu kedua hal ini berdampak positif: saya tidak pernah terlambat kuliah atau terlambat memberikan tugas.

Namun yang suka bikin saya berpikir dalam-dalam, orang-orang di sekitar saya, orang Indonesia, malah sedikit yang menghargai ketepatan waktu. Kalau janji dengan kawan-kawan, gak sedikit yang datang semaunya. Jangankan begitu, yang telat menghadiri perkuliahan aja banyak. Kadang kan suka gatel sendiriii, ngeliaat temen sendiriiii, dateng telat ke kampuuusss....

Hari minggu kemarin saya ada jadwal ngajar Esperanto di komunitas faktabahasa. Saya sudah beritahu narahubungnya sejak Kamis atau Jumat bahwa saya ingin clubbing hari Minggu pukul 11 siang. Katanya akana dia jarkom. Taunya? Baru dikirim pesannya hari Minggu pukul 10 pagi. Alhasil, peserta yang datang cuma sedikit, kan.
Ada kejadian baru lagi. Teman saya mengabari pertemuan pada pukul 3 sore, dan diberi kabarnya pukul 7 pagi, hari yang sama. Yah, padahal hari sebelumnya saya sudah buat janji yang lain, jadinya kan, saya gak ikut pertemuan tersebut. Coba dikasih tahu hari sebelumnya, mungkin saya bisa ikut dan mengulur janji yang lain.
Waktu dulu saya jarkom club Esperanto faba, selambat-lambatnya sehari sebelum jadwal sudah saya infokan. Barangkali ini 'efek samping' dari hasil diomeli orang tua kalau baru bilang ada tugas sesuatu pada malam harinya, "Kenapa gak bilang dari tadi? Jam segini mau cari begituan di mana coba? Kalau bilang dari tadi kan bisa dicari. Lain kali kalo ada apa-apa, jangan mendadak!" Dan kalimat terakhir itulah yang menempel di telinga saya, barangkali.
Jangankan mahasiswa. Dosen pun suka mendadak. "Maaf saya tidak bisa masuk kelas karena ada tugas ke luar kota." Padahal hari itu kita hanya ada satu mata kuliah dan itu jam 7 pagi. Tahu gitu kan gak usah mandi?! :D "Kelas pengganti dilaksanakan esok hari. Atur tempatnya." OMG tadinya mau libur kan gak jadi liburnyaa T_T
Apalagi pejabat. Ujug-ujug berhalangan, ngaret, hingga konon pernah ada salat Jumat yang ditunda hingga 45 menit untuk menunggu pejabat yang selaku khatib datang. MAU JADI APA BANGSA INI?!

Allah padahal sudah memberi konsep tepat waktu pada manusia: salat. Salat tepat waktu sangatlah utama. Andai semua orang bisa menerapkan salat tepat waktu, tentu akan nerap ke kehidupan sehar-hari juga toh?

Katanya, jangan ubah yang besar, ubah dulu yang kecil-kecil, nanti yang besar ngikut berubah juga. Yuk, mulai dengan diri sendiri, kita biasain tepat waktu. Mulai dari salat, kuliah, hingga mengabari. Siapa tahu, Jepang bisa kita susul. Ya toh?

Tuesday, September 9, 2014

Manusia Karbitan

Istilah 'karbitan' digunakan orang-orang (setidaknya orang Sunda yang banyak berada di sekitar saya) untuk merujuk kepada buah yang belum matang dan dimatangkan dengan bantuan karbit, dipaksa matang begitu deh.

Saya adalah manusia karbitan. Bukan maksudnya saya disimpan di peti bersama seonggok karbit dan ditutup rapat selama seminggu. Saya adalah 'korban' akselerasi. Saya menyelesaikan pendidikan jenjang SMP-SMA hanya dalam waktu 4 tahun.
Barangkali yang Anda pikir adalah "Wah pasti pintar." "Wah orang genius." "Nak, kamu kayak dia, ya. Pinter, hebat, bisa lulus SMP-SMA 4 tahun, hemat 2 tahun lho nak."
Saya sendiri tidak merasa begitu pintar. Yah, mungkin cukup pintar untuk masuk kelas akselerasi namun jika dibandingkan dengan teman-teman lainnya saya ada di bawah mereka. Setidaknya saya merasa pintar dalam bidang bahasa. Yah, semua manusia punya kelebihan masing-masing bukan?

Efek samping dari program pengarbitan ini adalah....saya mulai kuliah dua tahun lebih awal. Di kelas saya, sayalah yang termuda. Sisanya tersebar dari kelahiran 1992-1994 sementara hanya saya yang lahir pada tahun 1996. Akibatnya, saya dipanggil 'dede' oleh teman-teman sekelas.

Namun ada satu yang saya syukuri dari pemaksaan-pendewasaan diri ini. Dengan berkuliah dua tahun lebih awal, saya dipaksa lebih dewasa dua tahun daripada teman-teman saya. Apa saja yang saya dapatkan? Jangan sebut dewasa dulu deh. Seenggaknya ada beberapa hal yang sudah saya rasakan. antara lain:
1. Saya bisa ketawa gak jelas, saat mengerjakan paper 3000 kata dan stuck di 2800 kata, dan gak tahu harus nulis apa
2. Bisa tahu rasanya rusuh saat deadline tugas jam 12 namun hingga jam 11 belum selesai mengerjakan
3. Bisa tahu rasanya rusuh saat kuliah jam 7 dan pada perkuliahan pertama ada tugas yang harus diserahkan. Saat itu jam lima subuh dan Anda masih mengerjakan tugasnya
4. Bisa tahu rasanya overwhelming saat tugas menggunung dan Anda tidak tahu harus dikerjakan dari mana
5. Bisa tahu rasa bangga saat berhasil mengerjakan paper sejumlah 1000, 2000, bahkan 3000 kata. Berasa jadi orang pinter, sumpah!
6. Bisa travelling bersama teman-teman ke beberapa tempat. Dan travelling bersama teman (apalagi budget travel) sangat jauh berbeda dengan travelling bersama keluarga)
Dan terlalu banyak hal menarik lain yang berharga bagi saya.

Tanpa memandang rendah kawan-kawan maba, saya sangat bersyukur. Saya pernah jadi maba juga. Pernah merasakan euforia maba, eksplor tempat baru dengan teman baru, hang-out ngobrol ngalor-ngidul. Barangkali baru itu hal-hal yang maba rasakan. Sementara saya, sudah dua tahun lebih maju dan banyak pengalamannya.

"Ah, tapi masa SMP-SMAnya berkurang, ya sama aja. Nugas mulu, belajar mulu, mainnya kapan?"
Percaya atau tidak, anak aksel juga mahasiswa biasa. Saya dan teman-teman aksel suka ngumpul, makan bersama, nongkrong, main. Yah, kita gak selamanya makan buku dan nyemilin hitungan kok.

Sebenernya saya bikin artikel ini sebagai pembangkit semangat diri sendiri. Saya sedang sedikit kewalahan dengan tugas dan harus menyemangati diri sendiri, Karena kelak, setelah tugas selesai, maka saya merasa bangga terhadap diri sendiri bahwa saya berhasil melaluinya.

Biar saya tutup dengan ini:
Isilah sebuah toples dengan sebuah batu besar. Apa toples itu penuh? Tidak
Isilah dengan beberapa batu sedang hingga tidak bisa diisi lagi. Sudah penuh? Tidak.
Isilah dengan batu-batu kecil hinga penuh. Tidak bisa penuh, masih ada ruang kosong.
Isilah dengan pasir hingga ke atas. Penuh? Ya! Atau....tidak?
Yakin penuh? Coba tuangkan air hingga penuh. Pasirnya turun, memadat. Berarti tadi tidak penuh.
Toples itu hidup Anda. Mau toplesnya sebesar apapun, itu urusan Tuhan. Tapi semua orang ingin toplesnya penuh bukan? Coba jangan diisi dengan yang cetek seperti batu besar. Isilah dengan pasir atau air atau keduanya. Jangan diisi dengan satu pengalaman, coba cari pengalaman lain yang banyak. Agar hidup anda jadi penuh.
 
 
 

Thursday, September 4, 2014

Siapkah kita?

Oke, mungkin sedikit telat. Tapi saya ingin mengomentari kasus FS. Itu loh, yang ngantre di SPBU Jogja, nyinyir di media sosial, dan berujung meja hijau.
Buat yang belum tahu, begini cerita singkatnya...
Alkisah seorang perempuan berinisial FS, seorang mahsiswi UGM Jogjakarta. Dia ngantre mau beli bensin di salah satu SPBU. Karena BBM agak langka, antrean panjang mengular, dan dia ngantre di antrean untuk roda empat padahal dia bawa motor. Petugas SPBU gak mau ngisiin, dia juga ngotot. Akhirnya polisi yang jaga datang dan menengahi.
Belum selesai. Di medsosnya, dia ngedumel. Yah ngedumel doang sih gak apa-apa, masalahnya dia pake kata-kata kasar. Masyarakat  Jogja lihat dan merasa marah. FS dirisak (di-bully--red) di jagat maya, bahkan sampai ke dunia nyata. Massa menuntut dia diadili, diberi sanksi akademik dan sebagainya.
Mungkin Anda berpikir, "Hey, salah dia pake ngedumel pake kata-kata kasar segala." Tapi apakah tidak sedikit berlebihan membawa kasusnya ke ranah hukum? Dijadikan bahan bulan-bulanan di dunia internet pun sudah cukup membuat kapok dan sakit hati. Dan ini? Diseret ke meja hijau?
Konon ia sudah bosan dengan Jogjakarta. Yah itu memang perasaan dia, kan? Lalu kenapa dijerat dengan pencemaran nama baik? Dia tidak memfitnah siapapun, sepengetahuan saya. Dia tidak membuka aib siapapun. Dia hanya mengutarakan pemikirannya terhadap kota tempat tinggalnya.
Bukannya saya membenarkan tindakan FS. Tentu saja hal seperti itu perbuatan tidak terpuji. Namun saya juga sedikit menertawakan reaksi masyarakat yang terlalu lebay. Pernah di-bully di media sosial? Bayangkan saja, dia sudah di-bully oleh masyarakat seluruh Indonesia. Di media sosial, di portal berita, di forum dan milis. Kurang apa lagi?! Saya pernah merasakan di-bully beberapa orang di facebook karena memberi komentar yang bertentangan dengan pemikiran beberapa orang. Itu tidak enak sama sekali. Hanya sekitar 4 atau 5 orang saja yang mem-bully saya dan saya sudah merasa enggan berdebat di medsos lagi. DI-BULLY OLEH SELURUH PENGHUNI DUNIA MAYA INDONESIA DI SELURUH PENJURU RANAH INTERNET. Kalo saya, bisa stres dan depresi! Belum lagi menghadapi sanksi akademik dan sanksi pidana yang  menjeratnya. Belum lagi konsekuensi jangka panjang. Akan banyak tempat kerja yang mem-blacklist namanya. Akan banyak lembaga yang menolak dirinya. Apa tidak terlalu berlebihan?
Saya jadi bertanya. Sebenarnya, siapkah kita dengan adanya internet? Memang, informasi jadi bisa didapat dengan cepat. Namun tindakan yang berlebihan seperti di atas, apa perlu?
Selain kasus FS, saya rasa banyak yang bisa menyebutkan masalah yang muncul gara-gara internet. Pembunuhan karena selingkuh di facebook. Penculikan gara-gara kenalan dengan orang asing di milis internet. Pasti banyak deh. Lebay gak sih sebenarnya? Pelaku mungkin salah, tapi mungkin bertindak berlebihan hingga pembunuhan itu tidak perlu, kan ya?
Jadi, siapkah kita dengan internet? Atau jangan-jangan....mental kita terlalu 'tempe' untuk bersentuhan dengan internet? Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang.